Bab 51

578 73 86
                                    

NOAH berulang kali menatap pintu. Tidak ada tanda-tanda kedatangan seseorang ke rumahnya. Padahal sepiring brownies dengan topping nangka hangat sudah siap sejak sepuluh menit yang lalu. Noah menoleh ke arah Ibraham yang asyik dengan winning eleven dan sama sekali tidak terlihat terganggu dengan brownies tanpa tuan tersebut. Mamanya tadi bilang kalau Nada akan mengambil brownies yang memang jatah keluarganya tersebut, tapi sampai detik ini pun tidak ada suara bel.

"Mas," panggil Noah. "Mas, Kak Nada mana?"

"Nggak tau."

"Telepon gih, brownies-nya keburu dingin. Nanti nggak enak," kata Noah memberi usul yang agaknya, tidak begitu digubris oleh kakaknya. Noah mendesah pendek. "Berantem nih, pasti."

"Jangan sok tau," Ibraham menyahuti tanpa mengalihkan pandangannya dari layar teve.

Noah meraih piring brownies dari meja, lalu meletakkannya di pangkuan. Ibraham yang melihat pergerakan adiknya tersebut, cepat-cepat menoleh. "Mau ke mana?"

"Ke rumah Kak Nada, nganterin brownies. Kan enak nih Mas, abis ujan makan brownies anget. Terus aku juga mau ketemu Kak Nada. Terakhir kali ketemu kan tiga tahun lalu, pas Kak Nada jengukin aku di Singapore. Aku kangen, pengin lihat sekarang Kak Nada kayak gimana. Kan udah jadi anak kuliahan," Noah nyengir lebar, lalu menggerakkan kursi rodanya.

Ibraham reflek berdiri dan meraih pegangan kursi roda. "Di depan rumah Nada banyak tangganya. Gue aja yang nganter. Lo di rumah." Ibraham kemudian mengambil alih piring brownies. Noah langsung protes, "Dih, jangan egois dong. Aku juga mau ketemu Kak Nada. Memangnya Kak Nada tuh punya Mas Iham doang?"

Ibraham terperangah mendengar ucapan Noah. Diam-diam, Ibraham berpikir. Jangan-jangan sikapnya selama ini memang menunjukkan kecenderungan bahwa ia berusaha memonopoli Nada? Persis seperti yang dikatakan Kanza. Tapi Ibraham tidak pernah berniat demikian. Sikapnya selama ini adalah bentuk reflektif, karena Nada sudah ada di sekitarnya sejak ia menginjak masa puber. Sehingga Ibraham menganggap wajar kalau hubungannya dengan Nada bisa sedekat itu. Ibraham tidak pernah bermaksud, barang sedetik pun, kalau ia ingin egois dan memonopoli Nada untuk dirinya sendiri.

Adik yang terpaut lima tahun lebih muda darinya tersebut menatapnya. Melihat perubahan ekspresi wajah Ibraham, Noah melunak. "Mas? Beneran berantem ya? Couple fight?"

"Couple apaan. Nada punya pacar, tau."

"Oh ya? Kirain bakal jadian sama Mas Iham," komentar Noah jujur. "Abisnya nggak ada cewek lain setelah Mbak Neala kecuali Kak Nada. Jadi ya, Mama, aku, Papa, mikirnya Mas Iham bakal sama Kak Nada. Udah gitu, Kak Nada kan baik, lucu, terus pengertian, penyayang. Dia juga perhatian sama aku."

"Jangan ngaco," sungut Ibraham. "Emangnya lo pikir ngelupain orang yang lo sayang tuh segampang ngebalik tempe goreng?"

Noah mengangkat bahu. "Ya udah, kalau gitu Kak Nada buat aku aja. Kak Nada doyan berondong nggak sih, Mas?"

"Lo nggak denger ya? Nada udah punya pacar. Pacarnya ganteng. Lo mah lewat," kata Ibraham, menoyor kening adiknya. Noah mengusap bekas toyoran, lalu memberengut, "Selama janur kuning belum melengkung sih, gas maju aja."

"Lo tuh tau diri kek, dulu Nada pernah mandiin lo. Masa lo nggak malu," Ibraham berdecak lalu tertawa. "Nada tuh udah sering liat tubuh telanjang lo pas lo masih kecil, masa lo mau pacaran sama dia. Yakin? Ntar dia ngejekin titit lo tau rasa."

"Ih, tititku kenapa?" Noah melotot.

"Au," Ibraham ngeloyor pergi.

"Mas! Mas, aku ikut!" susah payah, Noah memutar besi di sekitar ban kursi rodanya agar ia bisa menyusul langkah Ibraham yang besar-besar. Walau lima detik ke depan, Ibraham berbalik arah, meletakkan piring brownies ke pangkuan Noah dan mendorong kursi roda adiknya tersebut.


BIANGLALA UNTUKMU [fin]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt