#16

1.9K 155 4
                                    

Setelah perdebatan yang lumayan alot, akhirnya gue bisa juga keluar dari rumah sakit. Dan selama hampir dua hari gue dirawat, kabar tentang Rifky yang gue dapat cuma seupil.

Satu-satunya orang yang dihubungi sama Rifky cuma om Wisnu, bokapnya. Itupun cuma izin gak pulang beberapa hari dan gak bilang mau ke mana, sama siapa dan berbuat apa.

Saat asyik berspekulasi ke mana Rifky pergi, ponsel gue tiba-tiba menginterupsi. Nama Dion Mahendra menghiasi layar ponsel gue.

Dion Mahendra

[Siap2. Gw dah mau otw]

[Dah siap dari tadi!!!]

[Ok.]

Setelah membaca chat Dion, gue segera melesat ke kamar mandi. Jangan sampai Dion tahu kalau gue bohong. Bisa kena omel ntar. Dion kalau lagi ngomel saingan sama mama, gak ada remnya.

***

Saat sampai di ruang tamu, tiba-tiba aja perasaan gue jadi gak enak, bulu kuduk gue bahkan sampai berdiri dan baris-berbaris.

"Gini, ya, yang katanya udah siap?" Gue yang awalnya mikir kalau ada hantu, akhirnya nyadar ternyata semua itu berasal dari Dion yang lagi natap gue dengan pandangan menghakimi.

Gue yang gak tahu harus jawab apa, cuma bisa cengengesan, sambil pasang tampang tak berdosa.

"Sepuluh menit loh Din! Coba pacar gue sih gapapa."

"Emang lu suka sama cewek?"

"Gak. Makanya gue doyannya sama cowok. Gak ribet."

"Dih anjir. Udah ah, berangkat sekarang," ajak gue. Hari ini gue berhasil bujuk Dion buat nemenin gue ke kantornya Rifky. Diakan pegawai teladan, pasti bakalan mikir beberapa kali untuk gak masuk kantor.

"Pagi, Mbak Lisa!" sapa gue ke gadis yang berada di balik meja resepsionis.

"Pagi juga, Din. Tumben, pagi-pagi ke sini?"

"Mau ketemu Rifky, Mbak. Ada?"

Mbak Lisa gak langsung menjawab pertanyaan gue, dia kelihatan mikir dulu. "Mbak, keknya belum pernah lihat Rifky deh. Aku hubungi ruangan dia dulu, ya?"

"Oke. Maaf ya, Mbak, jadi ngerepotin," ucap gue tulus. Mbak Lisa cuma tersenyum dan segera memencet beberapa angka di telepon kantor yang berada di sisi kanan mejanya.

Gue yang sedari tadi fokus ke mbak Lisa, mengalihkan pandangan ke Dion yang baru saja muncul dari arah lift.

"Sorry, parkiran penuh," ucap Dion seakan tahu apa yang pengen gue ucapin.

"Oh, pantesan lama."

"Gimana?"

"Baru dihubungin."

Dion mengangguk tanda mengerti. Gue pun kembali fokus ke mbak Lisa yang baru saja meletakkan gagang telepon ke tempatnya.

"Gimana, Mbak?"

"Rifky katanya izin, Din. Emang kamu gak tahu?"

Mampus, harus jawab apa coba kalau kek gini? Rifky kok lo tega banget sih? Jadi pengen nangis di pojokan aja.

"Mungkin Rifky udah kabarin, Mbak. Tapi ponsel aku rusak, makanya aku gak tahu," jawab gue asal, gak tahu mau balas apa lagi.

"Ooo, gitu. Pantes," ucap mbak Lisa tanda mengerti akan jawaban asal gue.

Seperti pepatah 'sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga'. Baru saja mau pamit pulang, ponsel dalam sling bag gue tiba-tiba berbunyi.

Ampun jadi ketahuan bohong. "Mbak, aku balik dulu, ya. Maaf repotin," ucap gue sebelum mbak Lisa bereaksi. Lalu menarik tangan Dion untuk segera menuju lift.

Sampai di lift, Dion langsung tertawa dengan puas. Untung aja gak sampai guling-guling di lantai lift. Bisa dikatain ada orang gila naik lift ntar.

"Diam, lu, Yon!"

To be continued...

Gak pake author note deh.

Andieeeeer
Pinrang, 21 Agustus 2017

Pacarku Bukan GAY!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang