Thirty Eight

232K 15.5K 556
                                    

"Banyak orang bisa dengan mudah meneriakkan 'cinta' tapi tidak banyak yang bisa bertahan pada pendirian. Lebih banyak yang memilih pergi tanpa peduli ada hati yang terlanjur berharap terlalu tinggi."

----------


"Ven, nanti sore jadi? "

Gladys mengerutkan kening menatap bingung Given yang sejak tadi lebih banyak diam. Beberapa kali ia menangkap basah Given sedang melamun sesekali menghela nafas panjang, seperti ada masalah yang sedang cowok itu pikirkan.

Sebenarnya kejadian ini bukan hanya sekali saja terjadi, sudah dua hari Given menjadi pendiam dan terlihat frustasi. Sering sekali Given tidak fokus mendengarkan saat Gladys sedang berbicara dengannya. Tentu saja hal itu membuat Gladys bingung, setiap kali ia bertanya kenapa Given lebih banyak melamun jawaban cowok itu masih sama 'Nggak papa." padahal jelas sekali ada yang sedang disembunyikan.

Gladys bukan tipe pasangan possessive yang selalu ingin tahu setiap masalah pribadi pacarnya, jika memang Given tidak ingin bercerita maka ia tidak akan memaksa. Gladys lebih senang diam menunggu sampai Given terbuka dan menceritakan sendiri masalah yang sedang dihadapi. Keterbukaan Given jauh lebih penting menurutnya.

"Ven." Gladys menepuk pelan lengan Given membuat cowok itu terlonjak kecil sadar dari lamunan.

"Ya? "

"Melamun terus nanti kesambet gimana? " cibir Gladys berlagak cuek membereskan buku dan alat tulis diatas meja. "Jadi kekantin nggak? "

Given hanya menganggukkan kepala,  tangan kanannya menggenggam jemari Gladys membawa gadis itu keluar kelas. Istirahat sudah berjalan sejak sepuluh menit yang lalu tapi karena Gladys harus mengurus jurnal kelas terpaksa waktu istirahat mereka harus berkurang. Tidak masalah bagi Given karena sebenarnya beberapa hari ini nafsu makannya berkurang,  banyak beban pikiran yang mengganggu.

"Jadi gimana latihan kamu kemarin? Nana nggak nyiksa kamu kan? " tanya Given memecah keheningan yang sempat terjadi diantara mereka.

Gladys menggeleng samar. "Nana baik kok, malah aku jadi merasa aikido lumayan seru. Lumayan kalau bisa biar kalau ada yang berani macem-macem aku bisa lawan. "

Melihat tangan kiri Gladys mengepal tawa Given pecah seketika. Tanpa bisa ditahan ia mengulurkan tangan mengacak gemas puncak kepala gadis disampingnya. "Gaya banget padahal baru sekali latihan, kalau udah jago bolehlah tanding sama aku. "

"

Eh, nantangin? " Gladys mendonggakkan wajah sengaja menyunggingkan senyum sombong. "Jangan nangis kamu kalau nanti babak belur."

"Babak belur? " tawa Given semakin keras. "Kamu buat aku babak belur? Nggak mungkin bisa. "

Gladys mengerucutkan bibir kesal. "Kenapa nggak mungkin? "

Tawa Given perlahan hilang berganti senyuman dibibir, tatapannya meneduh menatap dalam Gladys. "Pertama, sekuat apapun kamu nggak mungkin bisa kalahin aku karena kekuatan cewek tetep kalah sama cowok itu udah hukum alam. "

"Belum tentu, banyak kok suami takut istri. "

"Bukan itu maksud aku,  aduh pinter."  Given mendorong pelan kening Gladys dengan jari telunjuk. "Tenaga maksudnya,  kalau suami takut istri itu karena telinganya nggak kuat denger omelan panjang lebar dari istri. Cewek kan memang cerewet. "

Why ? [ SUDAH DISERIESKAN]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora