Prolog

399 20 32
                                    

Dengan apakah aku membandingkan semua ini?

***

Semburat cahaya oranye menghiasi langit, menyebar warna kekuningan yang meluas perlahan. Garis-garis tipis awan putih tampak mengarsir langit seperti goresan pena yang halus. Sang raja siang nampak malu-malu kembali ke peraduannya.

Sekitar tiga jam aku baru berhasil menyelesaikan operasi. Seperti ada ribuan ton batu tak kasat mata yang bersarang di bahuku begitu aku keluar dari ruangan menegangkan itu. Sangat berat. Ingin sekali aku segera berendam air panas untuk mengistirahatkan otot-ototku yang mulai kaku. Dengan langkah santai, aku berjalan menuju resepsionis, memastikan jadwal sif malamku hari ini kosong.

“Assalaamu’alaikum, Nit,” sapaku kepada Nita, suster setia penunggu meja resepsionis.

Waalaikumussalam. Ada yang perlu dibantu, Dok?”

“Hari ini sif malamku kosong kan?” Aku langsung ke intinya.

“Iya, Dok. Oh iya, ada undangan buat, Dokter.” Nita menyodorkan sebuah undangan dengan dominasi warna hijau dan emas kepadaku.

“Undangan dari siapa ini?” Dahiku mengernyit saat menemukan namaku ada di sampul undangan.

“Oh itu, tadi ada laki-laki yang ingin menemui, Dokter. Tapi, Dokter lagi operasi. Sekitar jam empat, Dok.” jelas Nita sopan.

“Laki-laki? Siapa?” Kurasa tidak semua teman-temanku tahu bahwa aku bekerja di rumah sakit ini, hanya beberapa saja. Atau jangan-jangan ...

“Dia tidak menyebutkan namanya, waktu saya menanyakannya. Dia hanya bilang, Dokter pasti sangat kenal denganya.”

Kerutan di dahiku semakin tebal. Dengan hati-hati, kubuka bungkus plastik yang melindungi undangan itu dari udara luar. Dan benar seperti dugaanku, nama itu tercetak jelas di lembar kedua undangan tersebut. Bersanding dengan nama yang tak kalah mengguncangkan hati.

“Kenapa, Dok?” tanya Nita yang kemungkinan besar melihat perubahan air mukaku secara signifikan.

“Eh, gak papa, Nit. Kaget aja,” elakku, “Saya duluan deh kalo gitu, pamit ya. Assalaamu’alaikum.” Dengan kecepatan sedang, aku melangkah ke ruang konsultasiku.

***

“Semuanya udah siap?” Untuk kesekian kalinya aku menanyakan pertanyaan serupa.

“Tinggal pengaturan lighting aja. Over all, beres kok.”

“Katering bereskan?”

“Udah siap semua, Pak. Tinggal antumnya aja. Udah siap ngucapin ijab kabul belom?” Ata tergelak melihat ekspresi datar yang kutampilkan.

“Kalo itu insya Allah siap.” jawabku mantap, namun ada secuil rasa ragu yang bersarang di hatiku.

“Ihiiir! Besok yang tidur udah gak sendiri lagi, makan ada yang masakin,”

“Iya dong. Makanya antum cepet cari, biar gak ngeledekin ana terus.”

“Doain aja.”

Aku dan Ata kembali memantau persiapan pernikahanku besok. Tiga hari ini aku sangat sibuk. Wajar saja, ini pernikahan yang sudah lama kuimpikan. Setidaknya tidak banyak kekurangan yang bisa ditemukan.

Mendadak Ata menepuk bahuku pelan, “Ai, gimana?”

“Tadi sore udah ke rumah sakitnya. Tapi kata mbak-mbak resepsionis, dia lagi operasi dari jam tiga,”

Ata hanya ber-oh ria menanggapi jawabanku.

Antum yakin mau nikah sama dia?”

Pertanyaan Ata sukses membuat hatiku mencelos. Nyatanya, hatiku kini mulai dipenuhi keraguan tak berdasar. Cepat-cepat kutepis pertanyaan-pertanyaan konyol yang selalu terlontar di kepalaku. Mungkin saja, itu bisikan setan untuk menjerumuskanku melakukan perbuatan yang dimurkai Allah.

Insya Allah, yakin, Ta.”

***

Happy reading 😊

Fatwa HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang