#1 : Perdana

199 16 15
                                    

Biasanya yang pertama itu sulit dilupakan...

***

“Woy, Ai!” Sebuah suara nyaring berhasil menginterupsiku.

“Apa?!” teriakku tak kalah nyaring.

“Pak Ono udah nyampe koridor C!”

“Mampus. Kenapa baru bilang sekarang?” gelagapku kelimpungan, cepat-cepat kuteguk es jeruk yang masih segar.

“Woy, Angga! Jangan tinggalin gue!”

Belum lagi nasi goreng yang kupesan datang, Pak Ono, dosen bahasa Indonesia, sudah membuat kegaduhan sepagi ini. Dengan kecepatan super dan kelenturan tubuh maksimal, aku berhasil melewati kerumunan adik tingkat. Entah apa yang mereka lakukan di depan gazebo.

Dengan napas tersengal dan keringat deras mengucur, getar tanganku menyentuh kenop pintu. Buku tanganku memutih akibat cengkraman yang begitu kuat.

Cukup! Aku tak berani!

Pak Ono itu tipikal dosen yang tidak mentolerir keterlambatan apapun. Terlambat sedetik pun, ia akan memberi nilai C pada mata kuliahnya selama 1 semester. Walaupun aku bukan mahasiswa teladan, setidaknya rata-rata nilaiku A. Aku tidak mau menorehkan huruf ketiga dari alphabet itu di kertas suci milikku.

“Bego! Bego! Bego!” umpatku geram, “Lemah banget, gini aja nyerah.”

Helaan napas kasar kembali kukeluarkan lewat mulut. Rasa gugup yang sudah sampai di ubun-ubun, rasanya seperti ingin meledak. Satu tarikan kuat, akhirnya pintu kelasku terbuka.

Syok? Pasti.

Gugup? Tidak.

Pemandangan mengerikan, raut seram Pak Ono, ocehan panjang, seperti ledekan untukku bila melihat pemandangan nyata sekarang ini. Gema suara tawaan manusia-manusia laknat memekakkan telingaku.

Sial! Aku ditipu!

“Banci! Angga mana Angga?!” Bila ini film anime yang sering kutonton, pasti ada kobaran api di kedua mataku.

“Gimana larinya? Capek?” tanya Angga di sela-sela tawanya.

“Dasar gojos! Banci! Kuker banget jadi orang!” Dengan ganas kulempar benda apapun yang berada di jangkauanku. Tak hanya itu, sumpah serapah juga ikut memeriahkan suasana yang mulai memanas.

“Bukan tanggung jawab gue! Salah sendiri percaya.” Angga membela diri.

“Banci! Awas lo minta tolong gue!” ancamku sambil berlalu keluar kelas.

Dentuman keras menggema akibat bantingan pintu yang kututup. Langkah kaki kuperlebar agar cepat sampai di tempat tujuan. Sapaan-sapaan adik tingkat terdengar menggangu pendengaran, membuat moodku semakin buruk.

“Pak, mau ambil paket.” todongku kepada Pak Midun, penjaga ruangan khusus pengambilan dan pengiriman paket, begitu aku sampai.

“Eh neng Ai, bentar ya. Bapak cariin dulu.”

“Cepet ya, Pak.”

Fatwa HatiWhere stories live. Discover now