#4 : Lagi

150 11 4
                                    

Saat akhirnya aku melihatmu sebagai batas mimpi dan kenyataan.

***

Laki-laki itu terlihat mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan dengan keadaan baru. Matanya baru terbuka setengah. Pandangannya menyebar menelusuri setiap furniture yang terbilang tertata rapih untuk ukuran pemuda tanggung sepertinya. Segera ia bangkit, mencoba melawan gaya tarik kasur yang bisa kapan saja menariknya kembali, untuk tenggelam dan menjelajahi alam mimpi sekali lagi.

Hidupnya sama seperti pemuda-pemuda pada umumnya. Selalu melakukan hal yang sama berulang-ulang. Ia tak pernah mau repot-repot memikirkan perubahan dalam tatanan hidupnya. Cukup ia tak merugikan orang lain, itu prinsipnya.

Tinggal di salah satu kota besar di Indonesia sendirian, tanpa sanak-saudara memang cukup membuatnya kesulitan. Namun itu dulu, di bulan-bulan pertamanya. Sebagai anak bungsu, laki-laki yang sering dipanggil Nafi itu tak mau terus-menerus dimanjakan oleh kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Ia memang satu-satunya anak laki-laki dikeluarganya, wajar saja bila ia diperlakukan lebih spesial dari saudara-saudaranya yang lain.

Sekalipun, Nafi tak pernah meminta apapun kepada kedua orang tuanya selain kebutuhannya sehari-hari. Sebagai anak laki-laki, ia malu bila semua kebutuhannya ditanggung oleh orang tua. Sebisa mungkin ia akan mencukupinya sendiri. Contohnya saat laki-laki itu masih duduk di bangku SMA, ada salah satu teman yang menegurnya. Waktu itu inti permasalahan mereka adalah sabun mandi.

“Masa aku dibeliin sabun bayi yang bau strawberry sama ibu,” ucap salah satu teman Nafi. Semua orang tergelak mendengar penuturannya, terkecuali Nafi.

“Saya pake sabun colek aja biasa aja.” cibir Nafi dengan ekspresi wajah datar.

Tawaan seketika berhenti. Semuanya tampak tercengang dengan perkataan Nafi kala itu. Sebagian dari mereka mengerjap-ngerjapkan mata tanda tak percaya dengan ucapan temannya barusan.

“Demi apa?! Kebangetan lo, Naf!” seloroh gadis yang selalu memakai bandana merah muda.

“Ngirit, woy.” jawabnya enteng.

“Lo tuh gak kere-kere amat, Bro! Sabun colek kan buat nyuci piring. Lah ini malah buat mandi.” Semua temannya berdecak heran dengan kelakuan Nafi. “Gak baik buat kulit, banyak bahan kimianya,”

“Buktinya saya baik-baik aja,” jawabnya membela diri.

“Mikir! Itu jangka panjang. Sekarang emang lo baik-baik aja, yakin beberapa tahun kedepan lo masih tetep sama?” Teman laki-laki Nafi akhirnya angkat bicara.

Namun, setelah perdebatan itu, Nafi tak lagi memakai sabun colek untuk mandi. Itu juga karena salah satu temannya ada yang melapor kepada ibu Nafi, yang notabenenya sangat memanjakan anak laki-laki satu-satunya itu. Laki-laki itu berakhir dengan ocehan panjang dari sang ibunda tersayang.

***

Terik matahari menyengat lengan laki-laki berkemeja biru tua, yang tak tertutup sehelai kainpun. Peluhnya terlihat berkumpul di dahi dan lehernya yang cukup jenjang. Selepas pulang kuliah tadi, laki-laki itu sibuk menelusuri jejeran penjual buku-buku lama. Ia ingin membeli beberapa buku untuk sekedar menjadi penghabis waktu luangnya.
Setelah menjajaki toko satu ke toko lainnya, akhirnya Nafi menemukan buku yang berhasil menarik perhatiannya. Tak mau menunggu lagi, ia langsung membeli buku itu.

Selesai mencari buku, ia putuskan untuk mengguyur tenggorokannya dengan segelas es kopi susu segar. Seinggatnya, di ujung gang ini ada kedai kopi yang cukup terkenal. Itupun juga dekat dengan lokasi kampusnya. Kakinya dengan semangat berjalan menuju tempat tujuan, hanya beberapa meter dari tempatnya sekarang berdiri.

Aroma kopi menyapa hidungnya begitu tangannya menarik gagang pintu, membiarkan tubuhnya masuk ke dalam ruangan empat kali empat itu. Terbilang kecil memang, namun tempat itu tak pernah sepi pelanggan. Ornamen-ornamen klasik ikut mempercantik kedai kopi itu, milik salah satu teman Nafi waktu SMA.

Setelah memesan es kopi kesukaannya, Nafi sengaja memilih tempat duduk paling depan dari kedai itu, dekat jendela kaca besar pembatas antara dunia luar dan kedai kopi. Ia ingin menikmati suasana siangnya dengan mengamati orang-orang yang sedang berlalu lalang di depan kedai.

Laki-laki itu terpejam setiap kali lidahnya mengecap rasa es kopi yang sudah ia pesan. Udara sejuk dari air conditioner di ruangan itu seakan ikut menambah kenikmatan luar biasa yang sedang dirasakan oleh Nafi.

Namun, mata laki-laki dengan bulu mata lentik itu menemukan seseorang yang sudah lama tak pernah ia lihat. Spontan Nafi bangkit dari duduknya, mencoba menghampiri seseorang yang tak asing baginya. Matanya terus saja mengikuti ke manapun arah seseorang itu pergi, hingga tanpa sadar, Nafi menabrak orang lain di depannya.

Rupanya gadis yang ia tahu bernama Zakkiyah, yang sudah ia tabrak. Gadis itu jatuh terjerembab ke trotoar jalan yang panas. Ingin ia menolong gadis itu bangkit, namun ia tak tahu harus bagaimana. Tak mungkin bila ia mengulurkan tangannya, sudah pasti kulit mereka akan bersentuhan secara langsung, dan ia tahu kalau itu dosa.

“Maaf, maaf. Saya gak sengaja,” Akhirnya hanya itu yang dapat keluar dari mulut seorang Nafi.

Matanya sudah tidak fokus, ia sibuk mencari-cari seseorang itu. Namun sekarang ia tak dapat menemukannya.

Kembali lagi dengan Ai, gadis itu malah menatapnya sinis. Tatapan tajam yang menusuk, tatapan itu juga mampu membuat Nafi merasa sebagai pembunuh dari ribuan orang di muka bumi ini. Namun, ia tak mau kehilangan seseorang itu.

“Maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf,” Nafi melesat pergi, meninggalkan Ai begitu saja. Dapat terdengar, gadis itu mengumpat kepadanya.

Untuk sekarang ia tak peduli dengan gadis itu, ia hanya ingin sekali saja dapat berbicara dengan seseorang yang sudah diamatinya sejak lama. Seorang wanita dengan pakaian penduduk surga yang selalu melekat di tubuhnya. Nafi hanya ingin mengetahui nama dari wanita itu.

Sial!

Nafi kehilangan jejak wanita itu. Diacaknya rambut bagian belakang kepalanya frustasi. Gagal sudah pencariannya sedari tadi. Nafi menghembuskan napas kasar, dengan lesu ia kembali ke kedai kopi, menuju es kopinya yang menyegarkan.

***

Happy reading 😊😊

Fatwa HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang