#2 : Di bangku itu Semuanya Bermula

220 14 76
                                    

Ikatan tak kasatmata yang hanya bisa dirasakan, sebuah hubungan yang bisa menjadikannya lebih sekadar petemanan....

***

Matahari bersinar terik tepat di atas kepala Ai. Sudah kesekian kali, tangannya mengelap keringat yang mulai membasahi kaos biru—seragam olahraga—yang dikenakannya. Dapat terlihat, wajahnya memerah, matanya menyipit menahan cahaya matahari masuk menyilaukan mata. Hidungnya kembang-kempis cepat karena gugup, mencoba mengatur napas.

Bunyi peluit terdengar nyaring di setiap sudut lapangan bola. Serempak, pelari pertama dari masing-masing grup, lari secepat mungkin menuju pelari kedua untuk menyerahkan tongkat estafet. Riuh sorak-sorai siswa-siswi SMA Nusantara semakin membuat seru acara classmeeting hari ini. Berbanding terbalik dengan siswi berkacamat—dengan frame bergambar Angry Bird—yang tengah berdiri menunggu pelari ke tiga menyerahkan tongkat estafet kepadanya.

Gadis itu meneguk ludahnya tegang. Waktu seakan berjalan lambat. Degup jantungnya mulai saling berkejar-kejaran. Kakinya terasa semakin melemas. Namun, tongkat yang ditunggu-tunggunya kini telah berada di genggaman. Ia masih tetap bergeming. Seketika lupa dengan tujuan awal ia berada di lapangan bola karena terlalu gugup. Ia adalah penentu keberhasilan dari kelompoknya.

“Woy! Lari! Lariii!!” interupsi salah satu anggota kelas Ai.

Sedetik

Dua detik

Gadis itu masih belum sadar dengan lamunannya. Hingga seseorang meneriakkan namanya cukup keras.

“Ai!! Larii!!”

Seperti sebuah mantra, kakinya langsung berlari setelah mendengar teriakan dari Alzena, tak menghiraukan semua orang yang tengah menyemangatinya. Pandangannya fokus ke depan, bulir-bulir keringat semakin meliar keluar dari pori-pori kulitnya yang terawat. Sesak! Ya, dadanya semakin sesak—melihat lawan mainnya masih ada di depannya.

Gadis itu tak mau kalah. Ia semakin memacu kakinya untuk berlari lebih cepat, menyalip orang asing di depannya—yang menyakiti mata tiap kali gadis itu memandang ke arahnya. Perlahan tapi pasti, Ai berhasil menyalip peserta di depannya. Matanya berbinar-binar saat menangkap keberadaan pita merah—penanda garis finis—terbentang gagah di depan, hanya tinggal beberapa langkah lagi badannya mengoyakkan pita kebesaran itu.

Namun, satu yang luput dari perhatian gadis yang sering dipanggil Ai itu. Ikat sepatunya tak terikat dengan benar. Setiap kali kakinya menghujam bumi, ikatan di sepatunya ikut melonggar. Dan nasib baik sedang tidak berpihak kepadanya. Gadis dengan sejuta percaya diri itu tersungkur saat satu langkah lagi menuju garis finis.

Waktu seolah berhenti. Ingin sekali dirinya menghilang sekarang juga, namun logikanya berkata lain. Ia tak akan menyia-nyiakan pengorbanannya sejauh ini, ia harus menang, bagaimanapun caranya. Kepulan semangat sudah sampai ke ubun-ubun, tak kehilangan akal, tangan lentiknya menggapai pita kemenangan yang terbentang nyata di depannya. Lalu menariknya dengan kepercayaan penuh.

Gemuruh tepukan tangan menggema karena perbuatan gadis yang tak pernah merasakan bangku taman kanak-kanak itu. Ia berdiri dengan percaya diri, berlalu pergi dari arena pertandingan begitu saja.

“Weeeh, keren lo, Ai!” Banyak yang memujinya hari ini, namun hanya mendapat tanggapan biasa saja dari empunya. Jujur, saat ini ia sangat malu. Ai memutuskan untuk menemui Alzena. Sebenarnya ia hanya menghindar dari keramaian.

Fatwa HatiWhere stories live. Discover now