#5 : Tabir Delusi

139 12 3
                                    


Semakin jelas, perlahan ... pasti terbuka.

***

Semilir angin menyapu wajah gadis dengan seragam abu-abu membalut tubuhnya. Cengkraman di tangan semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bola matanya selalu melirik ke arah benda bulat penunjuk waktu yang memeluk erat pergelangan tangan kirinya. Degup mahkota nyawa melonjak tak menentu. Bibir mungil itu tak berhenti merapalkan mantra-mantra penyejuk hati. Dipacunya sepeda motor agar melaju lebih cepat.

Mendadak motor yang dikendarainya berhenti. Gadis itu mulai panik, wajahnya pucat, tangannya bergetar hebat, otaknya terus berputar mencari tau penyebab motor kesayangannya itu tiba-tiba berhenti.

Selaput bening mulai menyelimuti matanya. Seketika gadis itu meluruh ke aspal jalan. Memeluk kedua lututnya yang tertekuk, berharap datang seseorang yang akan membantunya memecahkan masalah.

Samar-samar seorang laki-laki yang mengenakan seragam serupa melihatnya. Ia bingung kenapa gadis itu meringkuk di jalanan yang lumayan sepi ini. Logikanya mengatakan untuk mengabaikannya, tapi tidak dengan batinnya. Laki-laki itu kukuh tidak peduli. Ia sengaja memacu motornya lebih cepat saat melewati gadis itu.

Namun beda yang dilakukan oleh kepalanya, spontan organ penting itu menengok ke arah gadis itu. Tatapan mereka saling bertabrakan, mata gadis itu memerah. Sorot matanya sangat mengisyaratkan permintaan yang mampu membuat laki-laki itu tertegun.

Satu embusan napas kasar lolos dari mulutnya, mendadak diremnya motor yang melaju dengan kecepatan cukup kencang. Ia memutar balik arah, lalu menuju ke arah gadis itu. Pertahanannya akhirnya roboh.

"Motornya kenapa?"

"Gak tau, tiba-tiba dia gak bisa jalan," Gadis itu mencoba menahan air mata yang kapan saja bisa jatuh.

"Coba sini saya periksa." Laki-laki itu mengisyaratkan agar gadis itu minggir.

Entah apa yang dilakukan siswa SMA itu, namun tak membutuhkan waktu lama, motor gadis itu akhirnya kembali seperti semula. Mereka sama-sama melirik ke alat penunjuk waktu masing-masing.

"Masih ada 5 menit lagi sebelum bel. Saya duluan." Laki-laki itu langsung melajukan motornya, meninggalkan gadis itu dengan segala keterpanaannya. Seulas senyum terukir di bibir gadis itu. Lirih ia bergumam, mengucapkan terima kasih.

***

Setitik air menyentuh pipi Ai, dingin. Merembes perlahan, meninggalkan sebuah rasa. Rasa yang sangat kontras dengan yang sebelumnya. Bulir-bulir air mata langit semakin rapat menghujam tanah. Tak terelakkan, peluru-peluru kecil itu mengenai sebagian tubuhnya, membasahinya dengan salah satu nikmat Tuhan.

Orang-orang penghuni festival mulai membenahi segala komoditi mereka, untuk dibawa ke persinggahan yang lebih aman. Lain halnya yang dilakukan oleh gadis berlesung pipi itu. Ai malah asyik dengan dunianya. Merasakan setiap belaian lembut dari sang langit. Gadis itu mencoba memecahkan kode dari setiap tetesnya, merakitnya menjadi sebuah rasa untuk dialirkan ke setiap bulir air yang jatuh dari tubuhnya. Begitulah cara gadis yang sering di panggil Ai itu membasmi para komplotan pikiran jahat. Membiarkan para komplotan yang bersarang di otaknya itu dibawa pergi oleh sandi langit.

"Ngapain?" Suara dingin itu tahu-tahu sudah menusuk gelembung imajinasi Ai.

Gadis itu tampak membuang napas sepelan mungkin, tanpa menoleh ia berkata, "Punya mata?"

"Acaranya selesai masih lama."

"So?" Ai masih bergeming di tempatnya berdiri, menatap Nafi malas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fatwa HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang