Kita Salah

76 2 0
                                    

Huft.

Aku menghela napas panjang. Ini benar-benar hari yang buruk. Kubuka pintu ruang kerjaku dan melangkah keluar sembari mengenakan flannel tipis kesayanganku. Udara sedang benar-benar dingin malam ini.

Aku berhenti di depan pintu, menunggu beberapa saat agar aku bisa beradaptasi dengan suhu malam ini. Kulirik jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul 9 malam. Huft, aku menghela napas lagi. Berbagai sumpah serapah aku lantunkan di dalam diriku sendiri saat semua pekerjaan sudah aku rampungkan dan kulangkahkan kakiku pulang. Setidaknya aku bisa menghirup udara segar di luar tempatku bekerja.

Aku masih di depan pintu. Berdiri menunggu...

... Seseorang...

Kriet. Pintu dibuka dan langkah kaki terdengar di belakang punggungku. Tak kualihkan pandanganku ke arahnya, sebab aku tahu itu siapa; Kamu.

Langkah kaki itu berjalan ke depan dan berhenti di sampingku.

"Mau makan dulu, nggak?" tanyamu. Suaramu terdengar lembut di telingaku. Aku tersenyum menatap kedua retina milikmu itu, tapi hanya sebentar sebelum aku mulai salah tingkah. Aku belum puas menatapnya dalam!

"Sudah jam segini, langsung pulang aja."

"Nggak apa-apa, cuma sebentar. Nasgor depan gang, aja, ya?"

Kamu tarik tanganku, membawaku ke dalam pekat malam yang dingin ini. Mukaku memerah saat kurasakan genggamanmu yang hangat walau masih terasa angin yang sedikit mencubit kulitku. Aku bergidik. Kamu menoleh ke arahku, dan menemukanku yang sedikit kedinginan. Segera kamu lepas genggamanmu, membuatnya ikut menyeimbangi tertusuk dingin malam seperti anggota tubuhku yang lain. Kamu rogoh tasmu dan mengambil jaket milikmu, langsung kau pakaikan ia di pundakku untuk sedikit menepis dingin malam. Hangat. Wangi tubuhmu yang khas sekarang sedang membalutiku. Aku tak bisa bayangkan rasa bahagiaku, aku benar-benar sudah ada di dunia yang lain di mana yang tersisa hanya aku dan kamu.

Tapi, tidak. Ini semua salah.

Segera aku keluar dari semua imajinasiku. Mendapati diriku masih berada di dunia yang sama dengan kenyataan, walau masih kurasa berbeda karena masih ada kamu di hadapanku.

Segera kutepis sedikit lenganmu yang masih ada di pundakku, sebenarnya aku tak mau kamu tersinggung, tapi ini benar-benar salah. Aku berjalan bergeser sedikit menjauhi hangat tubuhmu. Aku tertunduk merasakan kekosongan yang menggeluti, walaupun kamu masih ada di sisi.

Dan kamu sadar akan hal itu.

Karena kamu tahu ini semua memang sebuah kesalahan.

Apa yang salah?

Kamu, aku, kita. Juga alasan mengapa "kita" disebut untuk mewakili "kamu dan aku".

Posisi kita sekarang. Entah status kita berdua ataupun kamu yang sedang ada di hadapanku, ini semua salah.

Karena seharusnya, tidak begini.

Kamu miliknya. Karena kamu miliknya. Bukan aku, bukan orang yang beberapa detik lalu kamu genggam tangannya dan kamu bawa terbang hatinya.

Kamu miliknya! Kamu miliknya! Miliknya!

Dia kekasihmu...dan entah siapakah aku kiranya di matamu? Yang jelas beribu perhatian dan rasa sayang yang sudah aku dapat darimu tak mampu menjawab semua pertanyaan yang tiap harinya selalu mengisi benakku. Aku tak pantas mendapatkan itu semua. Dan harusnya kamu sadar, hatimu tak bisa kamu bagi dua.

Jujur aku mencintaimu, bahkan bisa dibilang lebih dari dia. Tapi, mau gimana lagi? Dia yang ada di posisi itu, tempat yang selalu aku dambakan. Aku tak bisa terus terang mengambilmu darinya. Aku tahu ia bahagia denganmu, kamu pun juga, walau kamu masih saja memperhatikan langkahku dan jelas-jelas pernah bilang jika kamu mencintaiku, tapi, sayang, ini salah.

Dia yang menemanimu berjuang, dia salah satu alasan kenapa kamu bisa seperti sekarang. Dia yang ada di hatimu, sejak lama, bertahun-tahun lalu, bukan beberapa bulan sebelum kita bertemu dan menjadi kesalahan besar karena rasa mulai terjalin di antara kita berdua.

Aku tak akan menuntutmu untuk sebuah kepastian status antara aku dan kamu, aku tak peduli hubungan kita yang menggantung seperti ini. Aku tak peduli akan semua cinta yang ada di dalamku, yang harusnya aku ekspresikan kepada orang yang aku sayangi; Kamu.

Karena aku tak pantas menerimanya. Dialah orangnya, bukan aku.

Walau mungkin aku bisa saja terus menerus seperti ini, tapi di dalam hatiku aku ingin semuanya berakhir. Aku harap kamu segera pergi dari pantulan cahaya kedua retinaku sehingga aku tak merasa seperti ini terus, karena ini sungguh menyiksa.

Yang selalu aku pikirkan walau selalu kutepis, adalah saat di mana (jika) ia tahu soal kita berdua. Kamu harus tahu apa yang akan terjadi: hatinya akan terluka parah dan segala rasa perih akan melambung mengisi dadanya. Ia akan melewati setiap malam nan panjang merasa kurang cukup dan membiarkan air matanya mengalir deras, menatap lurus walau pandangannya kabur, merasa bahwa tak ada yang akan menyelamatkannya saat dunianya runtuh. Coba bayangkan rasa sakit sedalam itu, apa kamu tega menyiksanya seperti itu?

Dia gadismu, harusnya kamu perlakukan ia sebaik mungkin. Karena bisa saja aku tak bisa sebaik dia saat menghadapi kamu. Percayalah...

Walaupun aku tahu, akulah yang paling salah di antara kita, hanya saja cobalah untuk mengerti, tinggalkan aku, aku tak akan kenapa-kenapa. Paling hanya sakit sebentar, tidak sebanding dengan rasa kecewa yang akan dihadapi olehnya jika tahu akulah tokoh antagonis dalam kisah kalian berdua.

Aku selalu ingin memilikimu, tapi aku ingin sebuah hubungan di mana tak ada suatu kesalahan di dalamnya, walau aku tahu tak ada kisah cinta yang sempurna, tapi sungguh, aku jelas tak menginginkan berada di posisi seperti ini. Sungguh aku tak ingin membuat hatinya terluka. Karena aku sudah hafal betul tiap detail rasanya luka. Jadi, sebagai sesama perempuan sepertinya, aku tak ingin ia akhirnya juga rasakan rasa sakit yang pernah aku hadapi. Ditambah lagi, akulah penyebab utamanya.

Andai bisa kuulang waktu, tak akan kutemukan kamu di tempat yang sekarang, bila pada akhirnya aku menjadi perusak kebahagiaan orang lain, aku tak mau itu terjadi. Walaupun aku tahu aku rapuh sebab kisah yang dulu, tetap saja aku tak mau menjadi orang ketiga dalam hubunganmu dengannya.

Walau secara tak resmi, aku sudah seperti itu. Maaf, beribu maaf akan terucap saat—mungkin,—tapi aku selalu berharap itu tak akan terjadi—gadismu tahu tentang kita berdua. Aku sudah berencana untuk meninggalkanmu jauh sebelum kita berhubungan cukup jauh.

Dan sungguh, menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan orang lain adalah kesalahan terbesar, lebih fatal daripada salah memilih pasangan hidup.

Dan mungkin, ini adalah malam terakhir jarak kita sedekat nadi. Malam ini adalah malam terakhir aku rasakan keberadaanmu di dekatku.

Karena, semoga, besok kita sejauh matahari dari bumi.

Mungkin.

Mungkin saja.

Sebab aku sadar, harusnya, dia yang kamu temani malam ini. Harusnya dia yang kamu genggam tangannya. Harusnya dia yang kamu hangatkan tubuhnya dari dingin malam. Harusnya dia yang pantas mendapatkan seluruh perhatianmu.

Bukan aku. Kamu salah. Bukan akulah orangnya.

Dan andai bisa kuulang waktu, ingin kunikmati dinginnya pekat malam kali ini tanpa kamu di sampingku.

Sisa Sesak KemarinWhere stories live. Discover now