Sang Raja yang Terluka.

139 3 0
                                    

Aroma embun menyeruak hidung

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Aroma embun menyeruak hidung. Membuat udara yang terhirup berasa amat segar. Kabut masih betah menggantung diantara kaki bukit. Meski sang penguasa pagi telah beranjak untuk terbit. Meski jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, suasana di dapur istana telah ramai. Para pelayan dan juru masak bekerja menyajikan hidangan lezat bagi seluruh penghuni istana. Lapangan kerajaan pun ramai dengan suara besi yang beradu. Ya, disana telah diadakan latihan rutin bagi calon prajurit kerajaan.

Sang raja masih mengurung diri didalam kamar pribadinya dengan ditemani penasihat kerajaan. Ruangan 6x6 meter itu amat megah. Terlanjur megah, malah. Dengan hiasan kuningan diseluruh dindingnya. Kelambu warna-warni mewah melengkapi tatanan dekorasinya. Cawan-cawan bersama teko berwarna emas tertata apik diatas meja. Amat indah untuk disinggahi.

Sayang, seribu kali sayang, suasana kamar yang sedemikian rupa, tidak mengubah suasana hati penghuninya, sang raja masih termenung didepan cermin. Memandang cermin dihadapannya dengan muka masam. Menunjukkan betapa banyak rasa benci yang ada didalam jiwanya. Hasil dari seluruh bentuk pengkhianatan, serta seluruh amarah kesedihan. Dialah, Nun yang sekarang.

"Bagaimana bisa Kerajaan Timur itu mengirimkan mata-matanya kedalam Istana kita sedangkan satu pun dari kita tidak ada yang tahu? Apa kalian tidak memeriksa setiap penduduk yang masuk kedalam istana!" Nun berkata dengan keras. "Ampuni hamba Yang Mulia, hamba telah memeriksa setiap penduduk yang masuk kedalam lingkungan istana dengan cermat. Baru kali ini hamba lalai. Namun, hamba sadar ini semua salah hamba, tolong ampuni hamba Yang Mulia" Penasihat itu memasang wajah memelas, berharap orang dihadapannya itu mau menngampuni kesalahnnya yang amat besar.

Nun, menghembuskan napas kasar. Berpikir dengan perlahan, bagaimana bisa dia dengan mudah mengampuni seseorang yang telah melakukan kesalahan sebesar itu. "Entahlah Qasim, pikiranku masih belum disini. Lebih baik kau keluar dulu dari ruanganku, aku ingin menenangakan diri sebelum mengambil keputusan untukmu" Nun mencoba berbicara dengan nada lembut. Meski, hal itu harus didapatkan dengan menahan emosinya yang begitu kuat.

"Baik, Yang Mulia. Hamba akan pergi, tapi hamba mohon, ma'afkan hamba Yang Mulia. Hamba berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi" penasihat itu berlalu sambil membungkukkan badannya. Meskipun yang dihormatinya masih dalam posisi membelakangi dirinya.

Selepas penasihat itu berlalu, Nun terpancing amarahnya. Dia sungguh tak sanggup menghadapi seluruh kenyataan pahit ini. Dia berteriak dengan kencang hingga terdengar dari luar kamar. Membuat seluruh pengawal tergopoh-gopoh menuju kamarnya. Salah satu prajurit, yang tak lain adalah sahabat baik Nun memberanikan diri untuk masuk. Bermaksud melihat keaadaan sahabat karibnya.

"Yang Mulia, apakah kau baik-baik saja?" prajurit itu dengan ragu-ragu mencoba mengelus lembut pundak pemimpinnya. "Mengapa aku selalu merasa begini, wahai Hasyim?" lelaki itu tergugu disela tangisnya. "Aku selalu merasa dunia ini amat menyakitkan, hatiku selalu merasa ditusuk-tusuk setiap kali aku mengingat semuanya".

"Tentang mereka yang perlahan meninggalkanku sendirian, tentang pahitnya jalan kehidupan, dan tentang seluruh pengkhianatan. Mengapa mereka amat kejam Hasyim, mengapa?". Nun, menangis semakin kencang. "Bahkan, Tuhanku merasa tidak kasihan kepadaku. Apa yang ku lakukan kepada-Nya masih kurang bagi-Nya, Hasyim? Katakan padaku, katakan!" Prajurit itu memeluk sahabatnya dengan erat. Mencoba menahannya agar dapat mengendalikan emosinya.

Nun selalu begitu, sejak ayahnya mangkat dia menjadi seorang pribadi yang amat murung. Dibalik sifat gagahnya, dia adalah seseorang yang rapuh. "Jangan menyalahkan Tuhan, Yang Mulia." Hasyim mulai angkat bicara. "Dia memberimu cobaan yang begitu besar karena Dia tahu, sesungguhnya kau adalah seseorang yang kuat."

"Hamba mohon, kau jangan menangis lagi, Yang Mulia. Apa kata mereka jika mereka tahu bahwa pemimpinnya amat rapuh" prajurit itu mencoba mendudukkan Nun diatas kasurnya. "Tatap hamba, Yang Mulia." Nun mencoba mengangkat wajahnya sedikit. Ya, hanya sedikit.

"Hamba mohon dengarkan hamba. Sebagai sahabatmu, hamba mohon kau behentilah menangis dan menyesali semua ini. Jadikanlah semua pengkhianatan ini sebagai semangatmu dalam bertempur nanti. Apakah seorang Yang Mulia Mohammed Nun Al-Farisyi membiarkan dirinya dikuasai nafsu?" prajurit itu berbicara dengan nada sedikit agak keras. Membuat lelaki yang berada didepannya mendongak. Menampakkan wajah sayunya.

"Jawab hamba, Yang Mulia. Apakah seorang Mohammed Nun Al-Farisyi kalah dengan nafsunya?" Nun masih diam memandangi prajurit dihadapannya. "Ingat pesan ayahmu, mendiang Yang Mulia Raja Munsyid Al-Farisyi. 'Kalahkan hawa nafsumu, maka kau akan menjadi pemenang yang sesungguhnya'. Jangan rapuh, Yang Mulia. Hamba mohon, jika kau begini maka hamba akan turut bersedih"

"Ampuni aku Ya Tuhan, ma'afkan aku ayah, ma'afkan aku Hasyim. Aku telah mengecewakanmu, aku telah membuatmu khawatir dengan sikapku yang selalu seperti ini." Wajah sayu itu berangsur membaik. "Aku selalu saja seperti ini, rasa takut itu belum dapat kuhilangkan, Hasyim. Masih berbenak disini" Nun menunjuk dada bidangnya.

"Hamba mafhum, Yang Mulia" yang dipanggil Hasyim berdiri lalu memeluk tubuh sahabatnya. "Bersabarlah, Yang Mulia. Percayalah hamba tidak akan mengkhinatimu." Nun, mengangguk mendengarnya. Setidaknya masih ada seseorang yang tahu bagaimana keadaannya.

"Hamba mohon diri, Yang Mulia. Masih banyak yang harus hamba kerjakan diluar sana" prajurit itu memohon diri. "Baiklah, Hasyim. Terima kasih kau telah menemaniku setiap aku merasa ketakutan. Ku harap kau tidak akan mengingkari janjimu itu" Nun memandang wajah prajurit itu. "Insya-allah." Hanya itu yang diucapkan oleh sang prajurit, setelahnya dia keluar dari kamar raja, yang kemudian disambut dengan berbagai pertanyaan dari seluruh penghuni istana.


Untukmu, Nun.

Nun, hari ini hatiku tak seperti biasanya, ada sesuatu yang memaksa untuk menyelinap masuk meski sudah aku halau.

Ada sesuatu yang sepertinya tidak nyaman dan membuatku terus memikirkannya.

Nun, taukah kamu tentang masalah hati ini?

Hati yang tidak pernah mau sendiri, hati yang mampu dan mau melaksanakan segalanya. Tapi Nun, hari ini aku merasakan bahwa tiada yang peduli dengan pengorbanan hati ini.

Seakan-akan semua itu sia-sia.

Aku tidak mencintainya Nun, tapi aku menyayanginya. Ada sesuatu tentangku padanya.

Tidak hanya dia, tapi mereka. Aku menganggap mereka hidupku, mereka menganggapku sebagai kematian mereka. Disatu sisi aku merasa bodoh, tapi disisi lain aku berpikir aku tidak bodoh karena mereka.

Logikaku terus mendebat tak terima, tetapi hatiku membela.

Apakah aku ini berarti, Nun?

Bagimu dan bagi mereka?

Apalah aku, Nun. Hanya seutas tali yang tak pernah ditautkan, dibiarkan mengambang diudara. Tak terputus juga tak terikat.

Aku diadakannya di ambang, diantara batas kesadaran dan ketidakmampuan.

Dibiarkannya saja sehelai demi helai, tidak terajut antara satu dengan yang lain.

Aku ini apa, Nun? Hanya seseorang yang berkorban tanpa diharapkan.

24-03-2017

19:15 WIB

Penulis

NUNOù les histoires vivent. Découvrez maintenant