Pasukan Itu...

77 3 0
                                    

Hujan gerimis membungkus Kota Hija'i, membuat seluruh ruangan beraroma segar namun lembab. Nun, melihat gerimis turun sejak tadi sore, merenung dibalik bingkai jendela tanpa kaca. Hawa dingin menelusuk ke dalam baju. Membuat kulit merasa kedinginan. Nun sendirian disana, mencoba membuat tenang gejolak dihatinya. Ah, kenangan-kenangan itu hanya akan menyesakkan. Besok dia harus mulai melupakan segalanya.

Hasyim sedang berada di dapur kerajaan, dia memang panglima dan bukan koki. Tapi entah, dia selalu saja mampir ke dapur, entah hanya untuk mencicipi masakan atau sekedar menyapa para buruh di dapur.

"Wah, aromanya lezat sekali, Nyai. Aku jadi ingin mencicipinya" Hasyim sudah hendak mengambil sendok untuk mencoba masakan setengah jadi itu, tetapi lebih cepat tangan Nyai Kahasada menimpuk tangannya. "Jangan dicoba dulu, nanti saja kalau sudah matang. Kau ini, lebih baik kau kembali ke lapangan dan mainkan pedangmu!" hardik Nyai Khasada. Yang dihardik hanya senyum-senyum sambil meminta maaf.

Nyai Khasada, satu-satunya juru masak kerajaan, dia amat dihargai oleh Yang Mulia sebab perangainya yang bagus. Katanya, masakannya amat lezat. Jarak seratus meter dari arah dapur saja sudah tercium harumnya aroma masakan Nyai Khasada, sampai sekarang meski umurnya telah 85 tahun belum ada yang pantas untuk menggantikan posisinya.

Sayangnya, banyak yang tidak tahu bahwa wanita itu menyimpan suatu rahasia besar dihidupnya, rahasia tentang mengapa dia sampai kekerajaan ini, dan apa yang membuatnya menuju kesini.

***

Yang Mulia Mohammed Nun Al-Farisyi, masih saja termenung di jendela tak berkaca miliknya. Padahal matahari sudah sedari tadi tumbang di ufuk barat, menyisakan semburat merah di balik oasis yang subur.

Langkah berderap mendekati kamar, menyisakan hening yang berkelanjutan. Hasyim membuka pintu kamarnya, mendekat dari arah belakang. Belum sempat dia memanggil, Yang Mulia lebih dulu bertanya. Sadar atas kehadirannya.

"Ada apa Hasyim?" Nun berbicara dengan membelakangi, selalu saja begitu. "Paduka, kerajaan seberang mengirimkan utusan kemari tadi sore sebelum senja. Mereka mengirimkan suatu telegram" Hasyim menjelaskan takzim.

"Apa isi telegram itu?" "Telegram itu berisi kerajaan seberang memerlukan bantuan, mereka mengajak kita untuk bersekutu melawan Kerajaan Dayana." Hasyim menjelaskan lagi.

Mendengar nama 'Dayana', Nun seketika membalik badan. Menatap tajam Hasyim yang ada didepannya. "Kerajaan Dayana? Ada apa dengan mereka?" Nun bertanya tegas. "Mereka menyerang kerajaan seberang dengan ganas, Yang Mulia, penyebabnya karena kerajaan seberang menolak untuk menjual 300 Hektar tanah perbatasan kepada Raja Bunyan. Akibatnya Raja Bunyan mengerahkan seluruh prajuritnya untuk merebut tanah di perbatasan."

"Kerajaan seberang tidak semudah itu untuk mengalah lalu menyerahkan tanah seluas 300 hektar itu, mereka pun melakukan perlawanan, hingga akhirnya pecahlah pertempuran itu. Pasukan kerajaan seberang yang jumlahnya lebih sedikit tentu saja kalah. Oleh karena itu, mereka meminta bantuan kita agar kita bersekutu dan mengirimkan bala bantuan." Hasyim menjelaskan panjang lebar.

"Sekarang terserah Paduka hendak bagaimana." Nun seketika membeku. Bimbang atas segala keputusan, Kerajaan Dayana, seratus tahun berdiri, Kerjaan Hija'i belum pernah mencari gara-gara dengan kerajaan itu. Bukan apa-apa, mereka sangat keras kepala. Berurusan dengan mereka bukanlah hal yang mudah, perlu negosisasi tingkat tinggi untuk membuat mereka mengalah.

Itu baru dengan logika, belum dengan main fisik seperti peperangan. Disatu sisi, Nun tidak ingin melihat pasukannya berdarah-darah sia-sia. Namun disisi lain, mereka harus membantu kerajaan seberang yang telah banyak membantu mereka. "Kumpulkan penasihat kerajaan, kita lakukan persidangan malam ini juga" Nun memutuskan.

NUNWhere stories live. Discover now