Definisi Takdir Tidaklah Sama

80 1 0
                                    


Ahad ini, Baginda Raja telah kembali kepada dirinya sendiri. Masih termenung diatas balkon lantai dua istana. Mengamati beberapa prajurit yang berlatih pedang dilapangan istana. Meringis saat melihat seorang anak kecil yang beberapa detik lalu tertendang kuda dikandangnya. Melihat aktivitas yang ada disekitar istananya. Sampai sesaat kemudian sang pelayan tiba membawa nampan. Ber-isikan sarapan.

"Assalamu'alaikum, Baginda" sapaan khas timur tengah terdengar. "Wa'alaikum salam" yang dipanggil 'baginda' membalikkan badan. "Hamba bawakan sarapan, untuk Anda" pelayan itu mengatakan maksud dan tujuannya. "Letakkan saja disana, Laik" katanya sambil menunjuk meja disebelah pintu.

"Baik, Baginda. Tetapi Baginda, harus berjanji memakannya" pelayan itu berkata demikian, mengingat sudah dua hari semenjak kejadian kemarin rajanya tidak mau makan sama sekali. "Iya, Laik. Tenang saja!" Nun, berkata dengan lembut.

"Baik, Baginda. Jikalau begitu, hamba akan pergi. Assalamu'alaikum" ucap pelayan itu kemudian. "Wa'alaikumsalam". Selepas itu, Nun hanya kembali menatap seluruh pemandangan dari atas balkon lantai dua istananya, tanpa menyetuh sedikit pun makanannya.

Tentang ucapannya kepada pelayan itu? Ah, tidak lagi dipikirkannya.

Dihadapannya kini, terbentang pemandangan nan indah. Lokasi strategis Kerajaan Hija'i memang tak dapat dipungkiri. Lihatlah, disana terbentang pegunungan nan tinggi. Dengan hamparan rumput hijau beserta aliran sungai. Itu penjuru bagian selatan.

Di penjuru bagian utara, nun jauh disana, ada garis putih pantai. Sejajar dengan lautan yang membiru. Di penjuru bagian timur, gurun pasir membentang luas, panas dan gersang. Apabila ada badai angin, maka tertimbun sudah batuan yang ada. Membuat para saudagar yang melewati tak tahu dimana ia harus tersandung batu sialan.

Di penjuru bagian barat, oasis terhampar sejauh mata memandang. Para suku hidup sejahtera disana. Tercukupi segala kebutuhannya. Diluar sana, benteng terjajar sejauh 2500 Km. Mengellilingi seluruh daerah kerajaan dari seluruh ancaman. Benteng-benteng itu selalu dijaga ketat oleh para prajurit istana. Tidak akan ada yang bisa menembusnya.

"Assalamu'alaikum" suara salam itu sukses membuyarkan lamunan Nun tentang kerajaannya. Hari semakin siang, matahari telah naik diatas kepala. "Wa'alaikumsalam, Hasyim" yang menjawab masih menatap lamat-lamat kedepan.

Hasyim melihat makanan yang terletak rapi diatas meja. Sedikit menyentuhnya. Dingin. Itu berarti rajanya belum memakannya sedari tadi. Dia pun berjalan mendekati rajanya. Berdiri disampingnya. Turut serta menatap kedepan.

Lantas bertanya, "Mengapa engkau tidak menyentuhnya sama sekali, Yang Mulia?" yang ditanya menatap tak mengerti. 'Apa yang harus aku sentuh?' mungkin itu maksud tatapannya. Sang prajurit menghela napas, lantas menoleh kebelakang, memandang makanan dingin diatas nampan berwarna nyala.

Nun mengikuti arah mata prajuritnya, "Oh.. itu" jawabnya singkat. "Aku sedang tidak nafsu, Hasyim. Jika kau mau, kau bisa mengambilnya" lanjutnya kemudian. "Tidak, Yang Mulia, hamba masih kenyang. Sebaiknya Yang Mulia yang memakannya. Apa perlu aku menggantinya dengan yang masih panas?" prajurit itu hendak pergi mengambil nampan diatas meja.

"Tidak perlu, Hasyim. Aku tidak lapar, lebih baik kau temani aku disini" Nun, mencegahnya. "Tapi Yang Mulia, kau belum makan sejak dua hari lalu. Jika kau sakit bagaimana?" prajurit itu bertanya dengan cemas. "Aku sakit, aku mati, dan aku hidup itu hanya takdir yang tau, Hasyim. Aku bisa saja hidup tanpa makan berhari-hari dan aku bisa saja mati setelah memakan daging yang sangat lezat hari ini. Semua itu terantung takdir, Hasyim. Hanya takdir"

Sang prajurit terdiam mendengar penjelasan rajanya. "Jika takdir mengijinkanku hidup hingga 100 tahun lagi, itu juga tidak masalah, kan? Selama ketentuan alam masih berlaku. Semua itu tidak akan mustahil, Hasyim. Ketauhilah, kau tidak akan ada disini, dan aku tidak akan jadi seperti ini jika bukan karena takdir." Sang raja berkata dengan takzim.

"Hamba tau, Yang Mulia. Tapi tak bisakah kita mengubah takdir? Sesuatu yang mungkin bagi kita berarti apakah tak bisa dijaga dan dirawat, hingga ia dapat berada disini dengan waktu yang lama?" pajurit itu memulai bicaranya setelah sekian lama terdiam. "Tentu saja bisa, Hasyim" sang raja menjawab mantap.

"Hamba tau, hamba bukanlah sesorang berotak cerdas. Tapi hamba juga tidak sedungu itu untuk mengetahui rahasia dunia. Hamba ingin, Yang Mulia tetap berada disisi hamba hingga hamba tiada. Biarlah hamba gugur dahulu." "Makanlah makananmu, Yang Mulia. Hamba tidak ingin sahabat hamba sakit hanya gara-gara dia telat makan." Prajurit itu mencoba berguau. Yang diajak bergurau hanya tersenyum tanggung menyikapi.

"Itu kejadian yang amat tidak lucu, kan Yang Mulia?" Hasyim tetap menatap dengan wajah nyengirnya. "Baik-baik, Hasyim. Hanya karena kau sahabatku aku mau menurutimu." Nun, tertawa demi melihat wajah sahabatnya itu. Hari itu, definisi dari sebuah takdir bertambah lagi.

NUNWhere stories live. Discover now