5 : Punishment

102K 6.7K 211
                                    

Aluna merasakan punggungnya menghantam kasur tempat tidur sedetik setelah Gabriel melemparnya dengan tidak berdosa. Nafas Aluna terengah takut. Mundur dengan perlahan.

"Ga-Gabriel kumohon, kumohon maafkan aku." Aluna berujar ketakutan. Mundur semakin mendekati ujung tempat tidur menyadari bola mata hitam Gabriel berbinar dengan aneh.

"Kau kenal aku Aluna, kau tahu apa yang selalu terjadi jika kau melanggar satu saja peraturanku," ujar Gabriel menatap dengan senyum gila sekaligus sinis.

Peraturan, ya Aluna tahu peraturan apa maksudnya. Peraturan yang Gabriel buat secara sepihak tanpa mendengarkan persetujuan Aluna.

"Perlu kuingatkan? Aluna?"

"Satu; patuhi perintah
Dua; tidak ada bantahan
Tiga ; pasrah
Empat; Tidak ada kontak fisik dengan pria lain
Lima; meminta ijin
Tujuh; pelanggaran artinya hukuman
Delapan; hukumanmu bergantung keinginanku"

Aluna ingin menangis, dia masih ingat dengan jelas bagaimana menyakitkannya hukuman dari Gabriel. "Gabriel kumohon ...."

Gabriel mendekat, dengan gerakan cepat Aluna turun dari tempat tidur, karena gerakannya yang terlalu mendadak tubuhnya terjatuh menghantam lantai.

Mengabaikan rasa sakit ditubuhnya Aluna memilih bangkit, berlari menuju pintu kamar. Aluna tidak ingin repot-repot menoleh kebelakang.

Tangan Aluna berhasil mencapai pintu sebelum kembali menegang merasakan sesuatu menancap disamping telinganya. Tubuh Aluna menegang takut, melirik kesamping telinganya, tepat kearah sebuah pisau perak dengan ukiran rumit pada mata pisau dan gagangnya.

Nafas Aluna kembali terengah-engah, dia syok. Tubuhnya merinding merasakan usapan dari telapak tangan lebar dibelakang punggungnya. Terasa begitu pelan dan hati-hati. "Kau ingin pergi kemana?" Gabriel berbisik, mengecup ujung telingan Aluna dengan gaya sensual. Meniup pelan disana.

Tangannya bergerak merabat mengusap tangan Aluna yang memegang gagang pintu dengan lemas. Tahu bahwa perlawanannya sia-sia.

"Menyerah?" tanya Gabriel dengan seringai lebar, mengecup pipi Aluna dengan lembut sebelum tanpa aba-aba memasang sepasang borgol dikedua tangan Aluna.

Aluna tersentak merasakan besi dingin yang terpasang ditangannya. Dengan sebuah gerakan halus tubuh Aluna sudah berada didalam gendongan Gabriel.


Tubuh Aluna kembali terhempas keatas tempat tidur membuat seprai coklat mewah gabriel berantakan. Aluna tidak sempat bangkit ketika Gabriel mendadak sudah berasa diatasnya, memasang borgol yang mengunci tangannya ketempat tidur.

Aluna tidak berdaya memberontakpun akhirnya percuma. Mungkin yang dapat menghentikan Gabriel sekarang hanyalah keajaiban.

"Gabriel Please," ujar Aluna hampir putus asa. Menatap mata hitam kelam dengan binar gila.

"Please what baby?" Gabriel bergerak, menunduk. Mengecup sudut bibir Aluna, kemudian menulusupkan lidahnya. Mengajak Aluna bermain-main sejenak.

Ciuman itu terlepas begitu Aluna hampir kehabisan nafas, bibir Gabriel turun mengecup pipi kemudian beralih ke leher Aluna. Tangannya bergerak mengelus tangan Aluna yang tidak berdaya diatas kepala gadis itu.

"ARRGGHHHH!" Aluna menjerit, entah sejak kapan tangan Gabriel menggenggam sebuah silet yang berhasil menggores lengan Aluna. Darah mengalir dari celah kecil yang Gabriel buat.

Pedih ....

Aluna ingin menangis namun ia tidak ingin membuat Gabriel semakin marah. Gabriel bangkit setengah mendidih tubuh Aluna yang sudah tidak dapat melakukan Apapun. Nafasnya terengah menggores lengan Aluna lagi dengan goresan yang lebih panjang.

Aluna merapatkan bibirnya, menahan isakannya menahan pedih ditanggnya. Wajah Gabriel berkilat tanpa senyuman. Gabriel menunduk menjilat darah yang menetes dari tangan Aluna.

Tubuh pria itu bangkit, Aluna bahkan tidak berani menatap kemana ia pergi.

"AAAAAA, sa-sakit Gabriel! Sakit!" jeritan Aluna memenuhi ruangan coklat gelap itu. Tangan Gabriel mencengkram erat kaki Aluna sebelum memberikan satu goresan cukup dalam disana.

"Sakit? Ah, maafkan aku sayang. Bagaimana ... jika kakimu kupatahkan saja?" ujar Gabriel tersenyum gila. Kewarasannya memudar, terikan Aluna menarik sisi gila dalam dirinya.

" Ya, bukankah lebih baik kakimu kupatahkan saja. Kaki sialan itu yang membawamu berlari menjauhiku seharian ini," ujar Gabriel dengan muka sadis. Dia marah besar, dan Aluna tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk meredakan amarah Gabriel.

"Maaf ...,"

"Maaf? Hahahaaha kau harus mendapatkan hukumanmu sayang." dan hukumannya sejak tadi sudah dimulai.

Aluna ketakutan ketika Gabriel kembali beranjak pergi. Apa lagi kali ini?

Namun diluar dugaan pria itu datang membawa kotak P3K ditangannya. Membuka kita itu mengambil obat merah dari dalam sana.

"SSSSS " Aluna mati-matian menahan jeritannya. Merasakan kakinya yang baru saja di gores dengan sengaja kini sudah di beri obat merah. Perlahan Aluna merasa ada yang membungkus kakinya. Matanya melirik kearah kakinya yang tengah ditakuti perban oleh Gabriel. Hal yang sama dilakukan Gabriel pada tangannya yang diberi dua goresan.

Terkadang Aluna hanya tidak mengerti, terkadang ia hanya tidak paham. Gabriel mengubah sikapnya 360°. Dari psychopath gila dan sadis menjadi seorang pria lembut penuh hati-hati.

Gabriel mengecup perban ditangannya sedetik setalah melepaskan borgol dari pergelangan tangan gadis itu.

Bunyi dentingan besi beradu dengan lantai marmer kamar Gabriel memenuhi ruangan yang mendadak sunyi itu.

"Kau tahu aku Aluna, jeritan meminta maaf tidak akan membuatku berhenti." Aluna terisak tertahan, merinding merasakan tangan Gabriel yang mengelus pipinya.

Air matanya tak berhenti mengalir sejak tadi. Bagaimanapun ia berusaha menahannya. Air matanya dengan sangat jelas menunjukkan ketakutan besar.

"Kau selalu tahu apa yang akan terjadi jika kau memberontak. Tapi kau tidak pernah jera. Aku tidak paham kenapa kau begitu keras kepala."

"Tetaplah disampingku, kupenuhi setiap kebutuhanmu, keinginanmu semuanya. Tapi ingat patuhi perintahku, aturanku segala ucapanku."


Gabriel's MineWhere stories live. Discover now