Bab 1

56.5K 2.9K 64
                                    

Jakarta, Agustus 2015

Aku memarkir Snoopy, motor matic yang telah setia menemaniku selama lima tahun ini, di parkiran restoran cepat saji. Apakah aneh memberi nama pada barang kesayangan kita? Buatku Snoopy sudah seperti belahan jiwa, aku nyaris tidak bisa hidup tanpanya. Dia setia menemani selama aku kuliah dan bekerja.

Aku membuka  helm, sarung tangan, dan jaket, lalu memasukkan semuanya ke bagasi. Better save than sorry. Aku tidak mau kehilangan helmku lagi. Padahal itu helm kesayanganku, sudah lebih empat tahun kami bersama. Sudahlah, aku tidak mau membuka luka lama. Bukankah ketika kita kehilangan sesuatu, Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik?

Aku merapikan kerudung hijauku di kaca spion motor. Setelah rapi, aku turun menuju restoran, tempat aku dan Nada membuat janji untuk bertemu. Sepertinya Nada sudah datang, saat masuk ke parkiran, aku melihat Yaris-nya sudah terparkir manis di depan.

Nada sahabatku, kami bertemu tiga tahun yang lalu saat mengikuti pengajian yang diadakan masjid kampus. Kami kuliah di universitas yang sama, hanya beda jurusan. Aku di Teknik, dia Sastra. Sejak itu kami dekat lalu menjadi sahabat. Sebenarnya ada satu orang lagi, namanya Laras, kuliah di Ekonomi.  Aku, Nada, dan Laras seperti tak terpisahkan. Ke mana-mana kami selalu bertiga.

Di antara kami bertiga, aku yang lebih dulu lulus, empat tahun pas. Setelah lulus kuliah aku langsung mendapat pekerjaan di perusahaan kontraktor. Kalau Nada, dia baru lulus tahun ini dan sedang mencari pekerjaan. Beda dengan Laras yang juga baru lulus, dia langsung mendapat pekerjaan di perusahaan keluarganya.

Wushhh. Angin segar dari pendingin udara menerpa wajahku saat aku membuka pintu. Aku memperhatikan sekitar, mencari wajah Nada.

“Hana!” Nada melambaikan tangan dengan antusias saat melihatku masuk. Aku balas melambai dan menghampirinya. Hari ini dia tampak cantik dengan gamis polkadot hitam dan kerudung merah. Aku kadang merasa tidak percaya diri saat harus berdampingan dengan Nada. Dia yang paling cantik di antara kami bertiga. Kulitnya putih bercahaya. Aku heran, bagaimana mungkin dia bisa tetap putih seperti itu, padahal hobinya main di pantai? Matanya besar dengan bulu mata lentik dan hidung yang bangir. Belum lagi tulang pipi yang tinggi dan bibir yang merah muda. Semua paduan itu terbingkai indah, membuat semua mata tertuju padanya.

Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan hal seperti itu. Bagiku, rupa akan tertutupi dengan akhlak yang baik. Percuma kan, kalau tampang plus tapi kelakuan minus? Aku sendiri bersyukur memiliki wajah dan warna kulit khas Indonesia; istilah Laras, eksotis. Masih menurut Laras, bule-bule sangat menyukai perempuan Indonesia berwajah eksotis. Huh. Siapa juga yang mau menikah dengan bule?

“Sudah lama?” Aku langsung duduk di depan Nada. Sudah hampir sebulan tidak bertemu, aku kangen padanya.

“Baru kok,” ucap Nada antusias, matanya melebar.

Kulihat Nada sudah menghabiskan semangkuk mie ayam, segelas es jeruk, dan separuh roti bakar.

Yeah right,” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Pesen gih.” Nada kembali menyuap roti bakar cokelat keju dengan garpu. Aku memanggil pelayan dan memesan.

“Jadi, apa yang ‘penting’?” tanyaku sambil memberikan tanda kutip dengan jari pada kata penting. Nada mengirimkan pesan ke Whatsapp-ku, begini tepatnya,

240 Hari Menunggu CintaWhere stories live. Discover now