Bab 3

34.8K 2.5K 76
                                    

Jakarta, End of September 2015

"Jadi wawancara hari ini?" tanya Ibu saat kami sarapan di meja makan. Hari ini Ibu bikin nasi uduk ayam bakar. Masakan Ibu selalu enak. Aku bersyukur, salah satu bakat Ibu menurun padaku. Aku memang tidak bisa menjahit, tapi bisa memasak.

"Jadi, Bu." mulutku masih penuh makanan.

"Ish, anak gadis makannya yang bagus donk," nasihat Ibu. Aku hanya memperlihatkan gigiku.

"Pakai mobil aja, supaya nggak panas dan keringetan di jalan."

Degg.

Mobil?

"Nggak usah, Bu. Enakan naik motor, kalo macet bisa selap selip." Aku berusaha menolak usulan Ibu. Sejak mobil itu ada di garasi, tidak pernah sekalipun aku memakainya. Tidak juga menyalakan mesin mobilnya. Aku bahkan tidak mau menyentuhnya. 

"Masih pagi ini, nggak macet kok." Ibu masih memaksa.

Aduh, kasih alasan apa ya? Walau aku tidak pernah memakainya, tapi laki-laki itu rutin datang ke rumah hanya untuk mengecek kondisi mobil, selain untuk bertemu dengan Ibu. Jadi mobilnya masih dalam kondisi prima.

"Jakarta mana pernah nggak macet sih, Bu. Apalagi Sudirman. Udah nggak apa-apa, Hana naik motor aja." Aku membawa piring yang sudah kosong ke dapur dan mencucinya. Aku terbiasa mengerjakan segala sesuatunya sendiri. 

Dulu kami tidak punya asisten rumah tangga, mau tidak mau, aku dan ibuku yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sekarang kondisi ekonomi kami sudah cukup baik, jadi Ibu menyewa ART, tapi tidak menginap. Biasanya si Mbok datang jam delapan pagi, pulang jam dua siang.

Aku mendengar Ibu mengembuskan napas pelan. "Ya sudah, hati-hati ya."

Aku melap tangan yang basah dengan handuk. "Insya Allah, Bu." Aku mendekati Ibu dan mengambil tangannya. "Doain Hana ya, Bu. Mudah-mudahan lulus tes kali ini." Kucium tangan Ibu takzim, memohon restunya. Bagiku doa Ibu itu mustajab alias akan terkabul. Aku pernah membaca dalam sebuah hadis, salah satu doa yang tidak tertolak adalah doa orang tua kepada anaknya.

"Insya Alah, Sayang." Ibu mengecup dahi dan kedua pipiku. "Insya Allah, Allah mudahkan semua urusan kamu hari ini. Semoga Allah memberikan yang terbaik."

Aku tersenyum menatap Ibu. "Makasih, Bu. Hana berangkat dulu." Aku mengambil tas dan kunci motor di meja. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Ibu mengantarkanku ke teras.

"Habis dari tes Hana mau ke toko buku, Bu. Terus ke toko kue, ada bahan-bahan yang Hana mau beli." Aku sudah berada di atas motor, lengkap dengan helm, jaket, dan sarung tangan.

"Iya, hati-hati."

"Dah, Ibu." Aku memutar gas pelan. Bismillahi tawakaltu allallahi lahaulawala quwwata illabillah. Lindungi hamba selama dalam perjalanan yaa Rabb.

****

"Kok lama, ya?" tanya laki-laki yang duduk di dekatku. 

Aku mencoba tersenyum sambil menggeleng. Mana aku tahu? Aku kan bukan pewawancara. Sudah lebih satu jam aku menunggu untuk dipanggil masuk ke ruang wawancara. Tapi belum juga. Semakin lama aku semakin gugup.

"Pertanyaannya susah-susah kali ya, makanya lama," ucapnya lagi.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum kecil, malas menanggapi.

Trek!

Pintu ruangan terbuka.

Seseorang keluar dari ruangan. "Susanto," serunya.

240 Hari Menunggu CintaKde žijí příběhy. Začni objevovat