Bab 2

39.9K 2.5K 56
                                    

Oxford, Juli 2018 

Aku duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan pandangan menerawang, mencoba meresapi tausiyah yang baru aku simak melalui aplikasi Youtube di ponsel. Mendengarkan tausiyah lewat Youtube adalah rutinitas yang aku lakukan setiap pekan.

Setelah lelah mengikuti perkuliahan, mengerjakan tugas esai, begadang di perpustakaan, dan diskusi tatap muka dengan dosen selama sepekan penuh, aku butuh energi untuk mengisi baterai hatiku. Inilah yang bisa menjadi pengingat saat imanku sedang turun.

Benar apa yang dikatakan ustaz tadi, aku masih disibukkan dengan hal-hal yang tidak manfaat, malah membawaku pada angan-angan semu. Seharusnya aku fokus pada tujuan awalku ke kota ini, untuk belajar, bukan untuk galau karena masalah hati.

Aku menarik napas panjang, kenapa masalah hati harus begitu rumit?

Aku meletakkan ponsel di nakas dan membaringkan tubuh di tempat tidur . Kutarik selimut menutupi bahu. Kalau saja ada sahabat-sahabatku di sini, aku bisa curhat pada mereka.

Hiks. Aku kangen. Aku kangen kumpul dengan mereka. Kangen menghadiri kajian bersama mereka. Kangen safari dari satu masjid ke masjid lainnya hanya untuk menimba ilmu. Aku kangen...

Tanpa terasa air mataku sudah menetes, aku membiarkannya. Entah kenapa, aku ingin menangis malam ini.

*****

Jakarta, September 2015

Aku memasukkan buku cacatan dan Al-Qur'an ke tote bag. Alhamdulillah, kajian dari ustaznya hari ini keren banget. Seharusnya lebih banyak lagi ustaz seperti beliau di Jakarta ini. Bahasannya menarik para anak muda yang baru mulai belajar Islam seperti aku. Apalagi bahasan kali ini tentang jodoh, sudah tentu dipenuhi anak muda yang masih jomlo.

Kalau aku sih bukan jomlo, tapi single, karena aku memilih untuk tetap sendiri, bukan nggak laku di pasaran. Apa perlu kuceritakan barisan laki-laki yang mencoba menarik perhatianku sejak SMA sampai sekarang?

"Pas bener yah kajian kali ini." Nada mencolek daguku sambil mengedip-ngedipkan matanya. Kami masih berada di dalam masjid, acara baru saja selesai. Sebagian ada yang sudah beranjak keluar, sebagian masih betah berada di masjid yang berpendingin udara dengan karpet yang empuk ini. Termasuk aku.

Laras juga ada di sini. Aku dan Nada dengan susah payah membujuknya untuk ikutan, padahal hari ini dia ada acara keluarga.

"Pas apaan?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku mengeluarkan ponsel, mengubah mode ponsel menjadi normal. Setiap ada kajian, pasti aku pasang mode diam, supaya tidak mengganggu.

"Ihhh..., pura-pura deh." Kali ini dia mencubit lenganku. Sakit juga cubitannya walau pelan, tapi aku mengacuhkannya.

"Kalau sudah ada jodohnya, disegerakan," lanjut Nada.

"Siapa yang ada jodohnya?" Laras tiba-tiba sudah duduk didekatku, barusan dia dari toilet. Sepertinya suhu dingin membuatnya beberapa kali bolak-balik untuk buang air kecil.

"Tuh, Hana." Nada menunjuk ke arahku.

"Beneran?" Mata Laras melebar menatapku, mungkin dia merasa ketinggalan gosip terbaru.

"Nggak. Dasar aja Nada." Aku pura-pura memeriksa pesan yang masuk di ponsel.

"Lo masih berusaha jodohin Hana sama kakak lo?" tanya Laras pada Nada.

Nada mengangguk antusias. "Sebulan yang lalu mereka ketemu. Lo sih nggak ikut waktu itu."

"Seriusan Hana? Lo mau dijodohin sama Mas Angga?" Laras menatapku lekat, seolah tidak percaya.

240 Hari Menunggu CintaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora