Malam Kedua

14K 838 94
                                    

.
.
.
.
Naruto tersentak saat merasakan gesekan kain basah ditubuhnya, mata mengerjap pelan menyesuaikan bias cahaya lampu yang tertangkap retina.

"Aku membangunkanmu?" Mungkin itu sebuah pertanyaan. Akan tetapi Naruto memilih untuk tidak menjawab, laki-laki itu tentu sudah bisa menebak sendiri.

Kain basah dioles pelan menyapu tiap kulit bersentuhan langsung dengan goresan luka, gigi pun bergemelutuk menahan perih.

"Aku akan memanggilkan dokter setelah ini. Kau menginginkan sesuatu?"

Ok. Agaknya Naruto belum sadar sepenuhnya, dia pasti sedang bermimpi atau istilah lainnya salah makan hingga berhalusinasi.

Naruto tentu tidak akan lupa tatapan yang pertama kali pria ini tujukan padanya, tatapan kelam, penuh intimidasi. Dingin, seolah menunjukkan bahwa dia adalah orang paling kejam didunia. Dia juga tidak akan lupa ketika tangan-tangan yang sedang menyentuh dengan lembut sekarang, beberapa hari lalu menoreh luka di sekujur tubuhnya. Mulut yang tengah bicara lembut itu pun pernah mencerca dan berkata kotor.

"Apa kau sudah punya keberanian untuk mendiamkanku, bocah. Aku sedang tidak bicara pada bantal dibawah kepalamu!"

Itu dia, nada bicara yang seharusnya si laki-laki gunakan. Membuat bulu roma meremang hanya dengan sedikit tambahan geraman.

Naruto gelagapan menjawab asal.
"Ughh. Susu, s-sepertinya aku butuh susu. Susu putih." Yeah, Naruto seharusnya meminta susu coklat, susu putih membuatnya mual. Dia salah bicara. Salahkan laki-laki yang mendadak membuatnya gugup dan takut ini.

Naruto berpejam mata kala selimut berbulu halus menutupi tubuhnya, dia tidak berniat untuk tidur kembali karena baru saja bangun. Namun, pria bermata gelap dengan gaya rambut yang aneh sedang menatapinya. Dia tidak punya pilihan, semoga dengan berpejam mata si pria cepat menyingkir dari pandangannya.

Langkah kaki yang terdengar menjauh menimbulkan setitik keberanian, membuka mata sekedar mengintip. Naruto menghela napas lega.

Lelaki itu menutup pintu dari luar.

Merilekskan tubuhnya diatas kasur yang empuk. Naruto menjelajahi langit-langit kamar dengan iris ocean yang sendu, melihat-lihat ornamen yang terukir disana. Mencari kesibukan yang bisa membuatnya lupa dengan perih disekujur tubuh.
.
.
Hampir 3 minggu berlalu Naruto mulai terbiasa tinggal dirumah besar bak Istana milik seorang pria bernama lengkap Uchiha Sasuke. Tidak sengaja menemukan kartu identitas laki-laki itu dalam lemari pakaiannya. Pria yang jauh-jauh hari telah membelinya dari seorang penculik. Pria itu mulai berubah sikap, tidak lagi semenakutkan pertama kali mereka bertemu atau saat-saat dia baru tinggal dirumah besar ini. Pelayan yang setiap hari melayaninya juga ternyata banyak yang ramah dan baik hati. Mereka sering mengajak bercanda atau sekedar main bersama.

Tepukan pada bahunya menyadarkan Naruto dari lamunan, kepala menoleh, mata menangkap sosok pria tinggi menjulang dengan ekspresi datar. Mata itu, berapa kalipun dia melihat. Ketakutan selalu menjadi penghujung.

Sasuke duduk disebelahnya, sofa bewarna silver yang diletakkan menghadap jendela dapat membuat Naruto lebih rileks saat pria itu berada dekat sekali. Dia hanya perlu memperhatikan daun rimbun pohon maple atau gumpalan awan dengan beragam macam bentuk sebagai pengalihan.

Naruto terbatuk saat hidungnya menghirup asap pekat dari rokok yang dihisap oleh orang disebelahnya. Mata pria itu terpejam, Naruto hanya melirik dari sudut mata. Merasa terganggu dengan asap putih disekitar wajahnya, Naruto memutuskan untuk berpindah tempat. Namun cekalan pada pergelangan tangan menahannya untuk tidak bergerak lebih jauh lagi.

"Duduklah disini sebentar lagi." Naruto menurut, kembali mendaratkan pantatnya keatas sofa. Mencoba untuk merilekskan lagi tubuhnya, Naruto bersandar dan menyamankan diri.

Your Life In My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang