2. Paardebloem

70.7K 9.9K 545
                                    



"Hah! Selesai juga!" Aku membaringkan tubuh di atas karpet tipis di depan televisi. Selesai juga sesi curhat hari ini, aku mengecek uang yang masuk lewat M-Banking, senyumku mengembang, lumayan untuk menyambung hidup di tanggal tua.

Bunyi ketukan pintu depan membuatku langsung berdiri, itu pasti si Bocah. Aku membukakan pintu dan langsung tersenyum bahagia melihat wajah sahabatku. "Mana nasi bakarnya?"

Wajah pria di depanku ini langsung berubah masam. "Diajak masuk, kek."

Aku tertawa dan memberikan jalan untuknya. "Silakan masuk Tuan Kavi."

Kavi mendengus melewati dan duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu. Aku tinggal di sebuah kontrakan sederhana dan Kaviandra–sahabatku ini tinggal tidak jauh dari kontrakanku, bedanya dia tinggal bersama adik dan ibunya.

"Ambilin gue minum, La. Haus."

"Ambil sendiri ah, gue laper." Aku membuka bungkusan yang di bawa Kavi, isinya nasi bakar, ceker ayam goreng, bakso bakar dan sate kerang. Tadi aku memang menyuruhnya mampir ke angkringan dulu sebelum pulang.

"Cuci tangan dulu La!" Kavi membawakan magkuk berisi air untuk kobokan, juga botol dan gelas.

"Hehe... lupa gue." Aku mencelupkan tangan ke mangkok itu lalu mulai menyantap makananku.

Kaviandra Orcha adalah sahabatku sejak aku masih kuliah di kampusku yang lama. Dia sudah lulus tentu saja, sedangkan aku masih berjuang di semester awal perkuliahan. Aku biasa memanggilnya Bocah, karena adiknya yang masih berusia delapan tahun biasa memanggilnya Mas Oca, selain itu juga karena Kavi sering kalah kalau bermain PES denganku.

"Gimana kerjaan, Cah?" tanyaku.

Kavi mengangkat bahunya. "Biasa aja."

Kavi bekerja di sebuah restoran, menjadi pramusaji. Iya walaupun dia sudah lulus kuliah, bukan berarti perjuangan cukup sampai di situ saja. Zaman sekarang mencari pekerjaan itu sulit, Baru beberapa bulan lalu kontrak dengan perusahaan lamanya selesai dan sekarang Kavi harus mencari pekerjaan lain dan sementara dia harus bekerja sebagai pramusaji dulu, maklum dia harus membantu keuangan keluarganya.

"Gue udah daftar ojek online," katanya padaku.

"Heh? Lo mau ngojek juga?"

Kavi mengangguk. "Gue nggak punya mobil, gue cuma punya motor. Lagian kata temen gue bonusnya lumayan."

"Ntar lo tambah item lagi."

"Nggak papalah, cowok ini. Item-item juga masih laku. Emang elu," ejeknya.

"Heh, gue kenapa?" Rasanya nggak ada yang salah dengan penampilanku.

Kavi tidak melanjutkan ejekannya dan mulai memakan, nasi bagiannya.

"Mamak sama Daisy udah makan?" tanyaku.

"Udah tadi sebelum ke sini gue balik dulu, gue kan nggak bawa motor."

Aku melihat ke bagian depan rumah, memang tidak ada motornya terparkir di sana. "Lo tuh coba potong rambut, siapa tahu kalau lo rapian dikit, lo bisa dapet kerja," kataku.

Kavi memang memiliki rambut ikal yang melewati lehernya, rambut itu biasa diikatnya. Dia mempertahankan model rambut seperti itu sejak kuliah, untungnya saat ini rambut-rambut di rahangnya tidak ada. Kavi bisa terlihat lebih tua dari usianya dengan penampilan seperti itu, apalagi tubuhnya yang bongsor, tidak gendut sekali, tapi perutnya buncit dan pahanya dua kali lipat pahaku..

Aku yang hanya memiliki tinggi 155 senti dengan berat yang tidak mencapai 50 kilo, terlihat seperti kurcaci kalau bersanding dengannya yang memiliki tinggi 170 lebih, apalagi dengan tubuhnya yang besar itu.

Randa TapakМесто, где живут истории. Откройте их для себя