Bagian 1 - Sahabat

82 4 0
                                    



Memulai hari dengan menjajakan canda pada alam adalah rutinitas yang perlu dijaga. Pagi sebagai permulaan waktu di tiap aktivitas harian, harus diisi dengan tawa dan sukacita belaka. Apa jadinya sore dan malam kita, jika di awal pagi kita malah memulainya dengan mengeluh dan bermalas-malas-an. Itulah yang dilakukan geng Grinti setiap harinya saat sudah menginjakkan kaki di kampus. Tidak hanya geng itu saja. Semua peserta tongkrongan ikut berpartisipasi aktif menyumbangkan keriuhan di kafe samping Fakultas Ekonomi itu setiap paginya.

Geng Grinti yang beranggotakan empat orang dari fakultas yang sama, yaitu Ekonomi. Plus satu anggotanya yang tersesat berasal dari Fakultas Teknik. Lima sekawan itu bertemu bukan tanpa sengaja. Ada dorongan dan konspirasi dari alam membuat mereka akhirnya bertemu dan mendirikan sebuah geng, yang belakangan disepakati untuk diberi nama dengan geng "Grinti". Di sanalah kisah persahabatan mereka mulai terajut.

Wayan si engineer satu-satunya di geng itu memulai aksinya pagi itu. Diambilnya tanpa permisi gitar si pemilik kafe yang terkulai sepi di sudut dekat meja kasir. Dia mulai menyetel senar gitar lusuh itu. Diputar-putarnya (ujung gitar) sambil mengulang-ulang melodi gitar lagu Peterpan. Entah kenapa, tiap Wayan menyetel senar gitarnya, selalu melodi itu yang dia mainkan. Selalu. Dan hampir setiap hari.

Rumi sudah tak sabar ingin menyenandungkan sebuah lagu untuk direkamnya. Rumi memang seorang selebgram kelas menengah. Bermodalkan paras yang rupawan, dengan suara yang tidak terlalu easy-listening. Hanya karena rajin meng-unggah videonya menyanyikan beragam lagu hits di akun instagramnya, ia kini menjadi mahasiswa kategori paling hits di Fakultas Ekonomi. Sudah beberapa kali menjadi endorser mulai dari produk kecantikan, fashion hingga perlengkapan olahraga. Rumi berhasil memanfaatkan sosial medianya menjadi berguna. Setidaknya tarif iklannya, cukup untuk mentraktir makan siang satu geng-nya saat-saat di tanggal tua.

Roro asyik sendiri membetulkan jilbabnya daritadi dengan cermin menggunakan kamera depan hapenya. Pagi itu, ia terburu-buru berangkat ke kampus, sehingga tidak sempat berdandan ala mahasiswi. Padahal, Rumi, tanpa berdandan-pun, ia sudah cantik lagi berwajah teduh.

Dua anggota geng lainnya adalah Topan dan Jingga. Keduanya satu jurusan. Satu kamar kosan. Dan satu sepertiduran. Mereka juga dari satu kampung yang sama, Bukittinggi. Memulai persahabatannya sejak masih di ayunan. Sampai sekarang masih bertahan meski sesekali ada cekcok, hal yang biasa di dunia pertemanan.

-----------------

Hujan mengguyur kota Padang sejak semalam. Banjir terpaksa menggenang di beberapa ruas jalan. Burung-burung mulai melamun di beberapa peneduhan. Mereka sudah tak sabar menanti hujan reda. Berharap hari ini mendapat makanan hidangan dari alam. Untuk sekadar mengganjal perut yang keroncongan sejak semalam. Di balik jendela, Wayan juga sedang menanti hujan usai. Memperhatikan dua ekor burung yang sedang bercanda satu sama lain. Mereka memisah dari rombongan burung lainnya. Seperti sedang kasmaran, mereka mencuit-cuit seperti kegirangan. Mereka berbeda. Mereka tak ingin hujan segera usai. Si betina ingin menahan si Jantan lebih lama. Ia ingin melunasi cicilan kerinduan yang mulai bertumpuk-tumpuk. Apakah betul durasi pertemuan yang semakin lama akan mampu menghabiskan kadar rindu yang sudah bertumpuk itu. Bukankah ini bukan soal durasi pertemuannya. Tapi soal harmoni keakraban yang menumpahkan cairan rindu dari wadahnya. Pastinya, tidak ada cicilan rindu yang bisa terlunasi. Ia bukan hutang yang musti diangsur, tapi tabungan yang terus bertumbuh. Jarak adalah kantor bersemayamnya tabungan rindu, ia akan berbanding lurus dengan waktu. Semakin lama menahan diri dalam jarak, tabungan rindu semakin bertumbuh. Maka mempersempit jarak dan mempersingkat waktu adalah upaya menghambur-hambur-kan rindu. Karena rindu bukan uang yang bisa diserakahi. Semakin menumpuk, semakin menyiksa.

"Hey" Pesan whatsapp dari Rumi masuk di hape Wayan.

"Yow" Balas Wayan

"Dimana boy?"

"Lagi di rumah. Hujan lebat banget nih Say."

"Oalah, kirain sudah di kampus. Kami sudah pada ngumpul nih. Mau dijemput?"

"Segitu amat kangen ama gue, baru sehari gak ketemu."

"Preeett"

"Gue gak ngampus hari ini. Lagi pingin di rumah aja. Males hujan hujan keluar"

Pesan Wayan hanya terkirim. Centang dua. Tidak biru. Artinya belum dibaca.

Wayan melanjutkan nonton film drama reality-view-nya. Ia penasaran dengan dua sejoli burung pipit di balik jendela kamarnya. Mereka masih mengobrol asyik. Wajah betina sesekali senyum manja di depan si jantan. Si jantan sangat pandai menggombal. Sesekali ia menjauh dari betina beberapa centimeter, kemudian ia mendekat lagi, menjauh lagi, mendekat lagi. Si betina tertawa lepas. Terpampang jelas, wajahnya sedang memancarkan aura kebahagiaan. "Barangkali benar. Jatuh cinta, berjuta rasanya." Wayan membatin.

"Kami di depan boy" Pesan whatsapp dari Rumi mengganggu Wayan yang sedang fokus menonton drama di balik jendela kamarnya itu.

"Hah? Seriusan" Balasnya.

"Tok tok tok." Pintu kamar Wayan diketuk oleh seseorang. Belum sempat Wayan berdiri dari kursi duduknya. Orang-orang dibalik pintu sudah merangsek masuk dengan teriakan ceria dan ramai. "Woy! Bangun Woy! hahaha"

"Astaga ! Kalian berisik amat ih. Burung gue jadi kabur tuh"

"Hah?" Roro terkaget. Ia melongo dan menutup mulutnya dengan dua tangannya.

"Jangan mikir yang aneh-aneh brur. Itu, tadi ada burung-burung lagi mampir di balik jendela kamar gue. Mereka pada kabur denger suara teriakan kalian."

"Oooooooooo. Kirain apaan" Roro lega.

"Yan. Gue bawa okulele nih. Mainin donk. Instagram gue belum diupdate nih hari ini."

"Eee. Buyung ! Jadi buat itu doang pada kemari" Wayan balas kesal sambil bawa 3 botol green tea ukuran menengah.

"Hahaha. Lagian. Lo kok malah gak ke kampus hari ini?" Roro penasaran.

"Gue bakalan pindah Ro. Mulai besok gue gak kuliah lagi di sini. Bokap mau pindah ke Inggris. Katanya dia dapat kerjaan baru di sana. Kita semua disuruh ikut kesana."

"Gila lo Boy! Seriusan lo?" Teriak Topan kaget.

"Iya Boy. Sorry gue baru ngabarin kalian sekarang. Oiya Jingga mana?"

"Yan yan yan yan. Kok bisa mendadak gitu lo perginya?" Rumi nanya balik.

"Kenapa? Lo bakalan sedih gak ada lagi yang bakal ngiringin lo nyanyi ya? Haha. Ntar gue kenalin ada temen gue yang jago maen gitar."

"Yan" Rumi memotong bicara Wayan. Ia melempar membuang okulele yang daritadi dipegangnya. Dan tiba-tiba memeluk sahabatnya itu dari belakang.

"Jangan pergi Yan." Rumi tak kuasa menahan tangis.

"Eh. Eh. Jangan nangis gitu dong Mi. Gue juga berat ninggalin kalian. Aduh, Kok malah mellow gini"

Roro hanya mematung di salah satu sudut kamar. Dalam otaknya bekeliaran imajinasi kegelapan. Wayan, sahabat sekaligus pria yang diam diam ia mulai sayang, mendadak akan menghilang dari lingkarannya. Jauh sekali. Lintas negara, lintas benua. Tapi Roro tak menangis. Ia tak ingin ketahuan rahasia perasaannya pada Wayan. Sahabat sekaligus pria yang diam-diam mulai ia sayangi. Imajinasinya semakin menakut-nakutinya. Gelap, tanpa cahaya. hari-harinya akan sangat gelap 

Bersambung...





------------------------------------------------------

Saya menulis cerita ini penuh dengan teka-teki. Saya sendiri juga tidak tahu bagaimana endingnya. Biarlah alam yang membentuk rangkaian ceritanya dari waktu ke waktu. Sangat menantikan setiap komentar dan kritikan sahabat, untuk perkembangan yang semakin baik. 

Salam,

@riohafandi  :))



WAYANGWhere stories live. Discover now