Hijrah Safa

2K 155 1
                                    

Cermin di kamar itu sempurna merefleksikan bayangan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Safa yang hanya menggunakan celana jeans ketat, baju lengan pendek, rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Sudah sangat sederhana untuk ukuran remaja SMA. Dia tidak pernah bergaya modis layaknya kebanyakan remaja centil. Celananya selalu panjang. Tapi tetap saja,

"Apa masih tidak boleh?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, sebuah pertanyaan yang dia sudah tahu jawabannya. Tidak boleh.

Kemarin Fajar memberikan Safa buku How To Be a Good Muslim padanya. Karena buku itu didesain dengan sangat menarik, semalaman Safa membacanya tanpa henti. Dia juga sudah selesai membaca bab tentang jilbab. Intinya, dia sekarang sudah faham tentang jilbab dan mengerti maknanya. Seperti yang dikatakan Tika, jilbab itu melindungi kita dari berbagai macam gangguan. Dan Annisa juga pernah berkata padanya, bahwa jilbab itu sebagai pengingat. Ketika hendak melakukan maksiat, jilbab yang terbalut di seluruh tubuh kita akan senantiasa mengingatkan. Sekarang dia tinggal praktekan ilmu jilbab itu.

Safa sendiri bingung pada dirinya. Apa yang sulit hanya memakai penutup kepala, dan mengenakan pakaian yang longgar? Tapi ia takut tidak istiqamah. Dia masih labil, takutnya bongkar pasang dan membuatnya terlihat tidak konsisten. Dia seharusnya tahu, kalau berhijab adalah perintah langsung dari Allah, hukumnya wajib. Auratnya jadi tabungan dosa yang akan semakin terus bertambah seiring berjalannya waktu.

“Tapi..., kamu kan masih muda,” setan membisikkannya. “Besok saja, lah.”

Safa hampir termakan rayuan setan, namun segera teringat perkataan Fajar. “Memangnya kamu yakin masih hidup besok? Kalau bisa menjamin, ya silahkan, pakai satu jam sebelum sakratul maut saja.”

“Tapi, kan kamu belum siap...,” Setan membisik lagi.

Safa menundukkan kepala. Penuh kebimbangan. “Aduh, padahal tinggal pakai jilbab, kan?”

Safa mengangkat kepala lagi. Dari bayangan di dalam cermin, ia menemukan sehelai kain tergantung di paku di dinding belakangnya. Safa membalikkan badan, berusaha menjangkau kain tersebut yang tergantung di gantungan yang cukup tinggi. Bukan kain biasa, tapi jilbab. Jilbab instan yang tiba-tiba ada di tasnya. Safa kembali menatap ke cermin. Teringat perkataan Annisa padanya.

"Coba pakai jilbab sehari saja. Tapi jangan pernah buka. Cukup sehari. Kamu bisa rasakan perbedaannya."

Sekarang mungkin waktu yang tepat. Jilbab di tangannya. Safa perlahan memasang jilbab itu. Tidak mengapa lengan bajunya pendek, karena jilbab itu panjang dan bisa menutupi.

Safa menatap dirinya yang baru di dalam cermin. Bayangan dalam cermin tersenyum, manis sekali.

Hape Safa berdering. Ibu yang menelpon.

“Halo, Bu?”

“Halo? Assalamu’alaikum,” ucap wanita dari dalam telepon.

“Wa’alaikumsalam.”

“Sore nanti pulang ke rumah, Ibu dan Bapak mau bicara.”

“Jauh, bu. Bicara saja.” Safa menolak, karena hari ini masih hari rabu, belum waktunya untuk pulang kampung. Dia saja baru pulang dari sekolah beberapa waktu lalu, kalau pergi sekarang, sampainya sudah malam. Lalu, kapan kembali lagi? Urusan jadi rumit.

Terdengar suara sedang menarik nafas dalam. “Bapak sedang sakit, kamu harus segera pindah sekolah, sekolah di dekat rumah sekarang sudah bagus, jangan ragu.”

“Astaga, Bu. Bukannya kita sudah membahas ini berkali-kali sebelum masuk? Sekarang sudah hampir satu tahun.” Safa berdiri dari kasurnya, terlihat ekspresi kesal dari wajahnya.

“Bapak sakit, Safa.”

“Ya, kalau sakit pergi ke dokter! Apa hubungannya sama sekolah aku-“

“Ibu sudah tidak punya biaya.” Ibunya dari sana langsung menyergah.

Safa menghela nafas berat. “Aku bisa cari biaya kost sendiri!” Telepon langsung ditutup. Dia memang sensitif jika bicara masalah sekolah. Bagaimanapun, dia tidak mau pindah.

Satu detik. Dua detik. Waktu berlalu hening. Safa kembali duduk, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Beristighfar. Jilbab masih terpasang rapi di kepalanya, dan ini dosa pertama yang dia buat sedetik setelah memakainya. Ia membuang jilbab di kepalanya, mendesah. Dia memang seharusnya belum pantas pakai jilbab.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Where stories live. Discover now