Bagian 2

14 1 0
                                    

Beberapa hari setelah pertemuan itu aku sering menyengaja menemuinya di SRIT di daerah Meguro-ku. Memang cukup jauh dari tempatku menyewa rumah. Waktu tempuh Sekitar 45 menit menggunakan Namboku line. Aku selalu menjemputnya di luar gerbang sekolah dan mengajaknya makan siang di Cabe, rumah makan khas Indonesia di 3-12-7 Meguro, Meguro-ku, sekitar tiga menit melewati perumahan penduduk dengan berjalan kaki.

"Selamat Sore" Aku sapa Dita dengan senyuman.

"Sore... apa kabarmu Dit?"

"Mau ke mana kita?"

"Aku lagi butuh hiburan nih, ke Shinjuku aja yuk"

"Oke!"

Kami berjalan berdua ke stasiun Meguro. Aku selalu disuruh berjalan di depan. Tangannya tak pernah mau kusentuh apalagi kugenggam. Dari Meguro kami menuju ke Stasiun Shinjuku menggunakan Yamanote Line kereta listrik yang pasti ada setiap 5 menit sekali. Akan ada lima stasiun pemberhentian di jalur kereta ini. Sekitar 12 menit kami sampai di stasiun Shinjuku. Dari sana petualangan kami di pusat belanja Shinjuku dimulai. Dita sering ke tempat ini. Bukan tanpa alasan, disini kita bisa dengan mudah menemukan makanan Halal. Dari mulai Yakiniku, masakan Thailand sampai India ada di sini dan yang pasti halal untuk dikonsumsi.

Di tengah keasikanku menikmati sore di Shinjuku, Dita menarik tanganku. Hal yang tidak terbiasa. Dia menarikku menghindari kerumunan pejalan kaki dan masuk ke sebuah toko elektronik.

"Kenapa?"

"Nanti aku jelaskan, sekarang ikut saja dulu" tidak ada penjelasan darinya. Wajahnya terlihat panik ketakutan. Dia terus bekeliling memutari barisan barang elektronik sambil sesekali melihat keluar toko. Aku benar-benar penasaran. Dan aku pun melihat keluar toko, tapi tidak ada satu hal pun mencurigakan.

Dan tanpa permisi, Dita menarik lenganku lagi terburu-buru keluar dari toko itu. Segera dia mempercepat langkah kakinya. Mencari sebuah pintu, kemudian dia masuk ke dalamnya.

Kami masuk ke dalam sebuah rumah makan di daerah Shinjuku. Kami segera menempati meja kosong di pojok rumah makan itu dan membuka menu makanan. Dengan nafas terengah Dita meminum air yang dia simpan di dalam tasnya.

"Ada apa Dita?" Aku benar-benar masih penasaran.

"Dit, tenang dulu. Jangan bertanya dulu, biarkan aku bernafas dulu" Dia menjawab terengah sambil mengelap sisa air yang membekas di bibirnya.

"Huh kamu itu bagaimana? Orang kamu yang ga tenang" Sambil mengatur nafasnya Dita mencoba menenangkan dirinya.

"Maaf Dit, membuat kamu bingung" Dita mencoba membuka penjelasan.

"Yah, ada apa sebenarnya?"

"Maaf sebelumnya, tadi aku melihat Rico..."

"Siapa Rico?" Aku memotong pembicaraannya.

"Dengarkan aku dulu!, Rico itu suruhan papah aku Dit. Dia mata-mata papah aku dit, Sejak aku ...." Suaranya terhenti. "Sejak aku memutuskan untuk tidak menerima pinangan seorang politikus" Suara beratnya menggambarkan betapa sulitnya keadaan saat itu."Keluargaku, khususnya papah aku benar-benar marah padaku, mereka menganggap aku bodoh karena menolak pinangannya"

"Apa yang salah dengan dia?" Aku penasaran

"Maksudmu?"

"Yah maksudku apa yang salah menjadi istri seorang politikus?"

"Kamu...sama saja pikirannya dengan kakak-kakak aku" Jawabnya meremehkanku "Bukan karena soal mapan atau tidaknya Dit, kalo aku melihat harta, aku tidak akan kekurangan apapun. Tapi, bukan itu yang aku cari dari seorang suami Dit. Aku butuh Imam yang bisa membawaku taat pada Allah. Dan laki-laki seperti itu sangat sulit dicari. Politikus itu licik Dit, dia orang yang paling bertanggung jawab atas hilangnya lahan pertanian di daerah lampung beberapa tahun ke belakang, itu perbuatan jahat Dit. Aku tidak mau dan hanya minta pada Allah dipertemukan dengan lelaki yang benar-benar mencintai Allah dan Rasulnya" dengan keyakinan yang luar biasa Dita berbicara. Dan wow...aku tak pernah menyangka kriterianya luar biasa tinggi. Apakah Aku pantas?

"Oke Dit sudah Aman, baiknya segera kita pulang sebentar lagi Maghrib waktu Tokyo" ajak Dita.

"Yakinikunya bagaimana?"

"Nanti aku buatin" Jawabnya sambil tersenyum berlari di depanku.

"?" Aku tak paham.

***

3 Hari kemudian

"HEI LEPASKAN DIA!" Teriakku pada sekelompok bandit yang memegang Dita.

"Oh rupanya ada yang mau jadi pahlawan yah?" Ucap salah satu laki-laki yang memegang Dita. Dan aku tahu persis dia adalah Rico. Mata-mata suruhan papahnya Dita.

"LEPASKAN DIA PENGECUT" Aku menggertak.

"Siapa kamu?"

"Hmmma.....LARI DIT LARI!" Di pojok gang itu Dita berhasil melepaskan bekapan tangan bandit yang menahan suaranya. Tak mungkin. aku tak akan pergi meninggalkannya. Tanpa aku sadari satu pukulan mendarat di pipiku tepat di rahang kananku. Gubraggg dan aku pun tersungkur

"Masya Allah....dasar pengecut kamu Rico" Aku terbangun dan mulai bersiap. Ini benar-benar pertarungan serius. Aku coba hafalkan kembali jurus-jurus silat tanah pasundan yang pernah aku pelajari dari Roni temanku, anggota perguruan Silat Tadjimalela.

Satu pukulan menuju ke mukaku dan kali ini aku berhasil menghindar dengan cepat, tangan kanan yang berusaha memukulku, aku tangkap dengan tangan kananku dan aku putar ke arah samping kiri dan kutahan. Kuncian itu membuat Rico tak berdaya.

"Masih mau coba?, berani-berani ganggu Dita?"

"Bangsat kau....apa urusanmu dengan Dita? Aku ditugaskan untuk membawa kembali Dita ke Indonesia" Mendengar itu aku benar-benar naik pitam. Rico tidak Kapok nampaknya. Aku keraskan kuncianku di lengannya.

"AHHHHHHKKKK....Lepaskan Bangsat" Dia mengerang sambil bersumpah serapah....

"Bilang sama yang menugaskanmu...Dita baik-baik saja di sini dan akan aku antarkan padanya jika sudah siap!, Sekarang pergi dan jangan kembali mengganggu Dita"

Tiba-tiba Bukkkk. Hantaman benda tumpul telak mengenai bagian kepala belakangku. Aku jatuh tersungkur. Pening. Pandanganku buram, melihat Dita masih di bekap dengan tangan. dan gelap...tidak ada lagi cahaya.....

SESAAT DI KEABADIANWhere stories live. Discover now