Second Chance? - Part 1

19 1 0
                                    


Kapan pulang? Rumah kita merindukanmu.
Aku juga.

Aku juga merindukanmu. Rindu rumah yang satu tahun ini menjadikanku ratu. Tapi kakiku belum bisa melangkah pulang. Aku belum bisa kembali. Maaf.

Aku hanya dapat membatin. Bahkan menelan ludah pun rasanya sulit. Kuraih kembali cangkir kopi yang mulai dingin. Mencoba membasahi kerongkongan yang rasanya mengering.

"Siapa? Aryo?" kepalaku mengangguk. Rupanya raut wajahku terlalu kentara.

Amel sudah duduk di sampingku, "mungkin memang sudah saatnya kamu pulang. Aryo sudah berkali-kali memintamu pulang, kan? Ayolah, mau sampai kapan?"

Kuhembuskan nafas, berat. "Aku belum siap, Mel. Setelah semua yang terjadi, apa keadaan bakal jadi sama?" Jemariku sibuk memainkan gantungan kunci berbentuk miniatur motor gede. Hadiah dari Aryo, beberapa bulan sebelum pernikahan.

"Keadaan tentu gak akan sama, darl. But you should know, ini Aryo yang minta kamu pulang. Aryo. Suamimu sendiri. Bukan orang lain." Diraihnya tanganku. "Aku tahu kamu kangen Aryo kan? So, pulanglah!"

Aku kembali menerawang. Ingatanku seolah melompat ke beberapa kejadian, sebelum pernikahan, masa-masa bulan madu, kehidupan rumah tangga kami yang tanpa gejolak, dan... tentu saja kejadian itu. Kejadian yang memaksaku pergi dan keluar dari rumah kami. Saling berpamitan ketika berangkat ke kantor, dan tak pernah pulang lagi sejak saat itu. Yang Aryo tak tahu, di dalam laptopnya kuselipkan surat. Aku tak mungkin berpamitan langsung, bukan? Bisa-bisa disekapnya di dalam kamar.

"See? You. Should. Go. Home. Right now! Kalian mau sampai kapan pisah rumah kaya gini? Ntar laki diambil orang, tahu rasa!" Digoyang-goyangkannya bahuku. Ya, Amel memang sedikit pemaksa. Tapi aku tahu niatnya baik, untuk kami berdua. Aku dan Aryo. Meski hingga detik ini, aku belum bisa pulang. Aku belum sanggup.

"I know it, Mel. Tapi aku perlu waktu. Nanti, aku pasti pulang." Semoga. Ya, semoga kakiku masih sanggup melangkah ke rumah.

Aku melihat raut gemas dari wajahnya, hmm, mungkin kesal lebih tepat. Selama hampir satu minggu kepergianku dari rumah, Amel yang jadi penghubung antara aku dan Aryo. Dia teman SMA-ku, dan rekan satu kantor suamiku. Berkali-kali Aryo meminta Amel membujukku agar mau pulang. Sayangnya, berkali-kali juga kutolak keinginan itu. Praktis, selama beberapa hari ini kami hanya berkomunikasi via telpon, sms, BBM, whatsaap, bahkan tak jarang lewat balasan-balasan di twitter. Amel bilang, hubungan kami lebih parah dibandingkan anak kuliahan yang lagi LDR. Gimana gak parah? Orangnya deket, satu kota, kotanya gak besar-besar banget, udah nikah pula, tapi jauh-jauhan. Ironis.

"Pulang yuk," ajakku. Sudah hampir jam 8 malam. Kerjaanku juga masih banyak yang belum selesai. Amel berdiri sambil cemberut, "Iya iya. Aku udah sms ke Aryo, udah laporan kalo kita udah mau pulang." Buset, dia jadi mata-mata juga rupanya. Kuletakkan beberapa lembar uang di nampan kecil berisi tagihan. Kami berpisah di parkiran.

Sebelum pulang, kuketik pesan balasan untuk Aryo. Biarpun lagi pisah rumah begini, aku masih istrinya kan? Masih punya kewajiban untuk meminta izinnya untuk semua hal. Mengingatkan soal makan dan istirahatnya.

Udah selesai makan sama Amel. Ingat makannya ya.
Love you.

Second Chance?Where stories live. Discover now