Second Chance - Part 3

23 0 0
                                    

Jam 8.30 pagi. Teh hitam. Roti coklat keju. Monitor yang sudah nyala. Tapi semangat kerjaku menguap entah kemana. Karena suara Aryo tadi malam. Oh ralat, karena permintaan suamiku untuk pulang ke rumah.

"Mba, ada surat nih. Undangan kayaknya." Mbak Ning, office-girl di kantor meletakkan surat di meja, yang hanya kubalas anggukan.

"Sakit tho, Mbak? Ndak koyo biasane. Wes tak panasin tehnya lagi ya Mbak, biar angetan." Mba Ning membawa cangkir keluar dan membiarkanku sendirian di kubikel. Masih sepi, masih ada waktu untuk, yaaaa katakanlah malas-malasan. Orang-orang di kantor biasanya datang pas jam 9, sesuai waktu masuk kerja.

Teh hitam kembali diletakkan Mbak Ning di atas meja. Kuputuskan membuka sejumlah situs untuk mencari angle berita. Login email, twitter, dan pemutar musik untuk meramaikan suasana.

Tanganku terhenti pada satu email di kotak masuk. Tadi malam sebenarnya, tapi sudah terlalu letih mengecek satu per satu email, yang biasanya dikirim klien atau instansi yang mengundang untuk peliputan. Dari seseorang yang sudah terlampau lama. Masa lalu yang sebenarnya tak pernah hilang sama sekali dari ingatan.

Hai, Ya. Gimana kabarmu?

Btw, I'm happy for your wedding. He's a lucky guy, right?

Aku baru tau kabar itu pas ngecek akun facebook. Selama tugas jarang kubuka.

Aku sudah balik ke Indonesia. Masih di markas Sentul, tapi. Baru seminggu yang lalu balik dari Darfur, mungkin satu atau dua minggu lagi aku balik ke Banjarbaru.

Mau ketemu? Sebagai teman. Kita terlalu lama gak bertatap muka. Mungkin bisa ngobrol santai, sambil tukar cerita. Seingatku kamu suka mendengarkan cerita kan?

Oh iya, nomormu masih sama kan? Nanti kuhubungi kalau SIM Card-ku sudah bener ya, masih nomor yang kemaren, cuma perlu diganti chip-nya. Sementara via email dulu, aku masih pakai nomor luar negeri soalnya, nelpon mahal. Hehehe. Salam buat suamimu, Ya.

Best regards,

Fachrial.

Mas Iyal, desahku dalam hati. Hatinya berkhianat. Justru kenangan lama yang berseliweran lagi.

"Ngelamun pagi-pagi, laki disamber orang, lho!" Mbak Maisya, Head of Production-ku menghampiri meja dan meletakkan satu dus kecil klepon yang masih hangat.

"Hehe, siapa coba yang ngelamun? Orang lagi cek email." Kilahku. Atasanku ini memang peka luar biasa sih.

Ditepuknya pelan kepalaku dengan penggaris, "Kamu tuh gak jago bohong, tau. Orang aku tadi udah manggil-manggil dari depan pintu, kamu gak ngerespon. Apa coba kalau bukan ngelamun?"

Aku meringis kecil, Mbak Maisya sudah menghilang di balik pintu ruangannya. Kutarik nafas panjang dan kembali mengulang surat Mas Iyal. Terakhir berkomunikasi hampir satu tahun yang lalu. Beberapa bulan sebelum aku dan Aryo memutuskan untuk menikah. Saat dia masih tugas di Afrika.

Satu pertanyaanku, dari mana atau dari siapa Mas Iyal dapat alamat emailku? Padahal terakhir kontak BBMnya sudah kuhapus, dan nomor ponsel yang digunakannya di Darfur, Sudan, tak pernah diberitahukannya padaku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 28, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Second Chance?Where stories live. Discover now