Second Chance - Part 2

20 0 0
                                    


Sepi. Yang menemaniku hanya segelas kopi dan bunyi keyboard laptop. Satu minggu terakhir rasanya aku berubah jadi manusia gila kerja saat di rumah. Mau keluar rumah pun rasanya malas. Bukan malas. Takut kalau tiba-tiba Andria, istriku pulang dan aku tak ada di rumah.

Hembusan nafasku berat. Istriku. Ya, Andria masih istriku. Sampai kapanpun. Entah apa masalahnya, sampai dia memilih keluar dari rumah dan tinggal di rumahnya sendiri. Rumah yang dibelinya sebelum kami menikah.

Aku kangen, Yang. Bisikku. Rumah kami sepi. Aku dan Andria memang sepakat tidak memakai jasa asisten rumah tangga. Toh rumah minimalis kami juga tak terlalu sulit dirawat. Biasanya hari Minggu aku dan istriku kerja bakti membersihkan halaman atau bagian-bagian yang jarang dibersihkan. Tapi untuk urusan masak dan beres-beres, Andria jagonya. Bahkan ketika harus liputan lebih pagi pun, istriku itu selalu sempat membereskan dan menyiapkan sarapan untukku. Jadwal kerjaku sendiri lebih siang. Jam kantor Andria 9 to 5, sedangkan aku 10 to 6, walau kadang kami sama-sama harus lembur.

Drrtt... Satu pesan BBM masuk. Andria.

Just need you. Iya, sudah makan.
Hey, I miss you too much. Be back, hun.

Andria masih belum mau bicara. Apa masalahnya hingga pergi dari rumah kami. Bagaimanapun, ini rumahnya kan? Aku suaminya. Entah kenapa tiba-tiba istriku seolah menolak semua fasilitas yang menjadi haknya setelah resmi jadi istriku. Sialnya hingga sekarang aku sendiri belum menemukan jawabannya.

1 jam kemudian, kuputuskan menelpon Andria. Jarak rumah kami dan rumah yang ditinggalinya lumayan jauh. Selain takut kenapa-napa di jalan, aku juga kangen. Gila aja, pisah rumah sama istri sendiri, tanpa tahu alasan jelasnya. Bahkan Amel, teman dekat istriku yang sekantor denganku pun tidak tahu. Atau mungkin menolak memberi tahu.

"Assalamualaikum, Yang..." ya Allah, aku kangen istriku. Siapa sebenarnya yang membisikkan ide gila ke telinga Andria, sampai tega biarin suaminya mati kangen begini, kutukku.

Aku terdiam, meresapi tiap kata dan hembusan nafasnya yang terasa di telingaku. "Waalaikumussalam, udah sampai rumah? Di jalan aman?" Pertanyaan basi. Iya, aku tahu. Andria bahkan lebih laki dari tukang jaga malam di komplek rumah kami. Soal perjalanan jauh, jangan ditanya. Mau siang atau malam, dia berani. Selain tuntutan kerjaannya sebagai jurnalis, istriku memang dari dulu sudah 'laki', biarpun sekarang sudah jilbabab dan jadi istri. Ingat hal itu, aku jadi tersenyum sendiri. Kangen.

Di belakangnya terdengar bunyi derit pintu. "Iya, baru aja. Ini baru masuk rumah. Mas kenapa? Gak sakit kan?" Nadanya terdengar khawatir.

"Aku rela sakit, kalau itu bisa bikin kamu pulang, Yang." Oh, good, nadaku sudah seperti nagging husband, manja, minta perhatian. Tapi memang kenyataannya kan? Terlalu kangen.

"Kapan kamu pulang, Yang?" pintaku lagi. Aku merasa dapat mendengarkan helaan nafas Andria yang tak kalah beratnya. Maaf, Sayang, suamimu terlalu merindukanmu.

"Mas..."

"Aku akan nunggu kamu pulang. Baik-baik disana ya. Cepet istirahat. Love you." Aku tak ingin menekannya. Bahkan dari helaan nafasnya saja Andria nampak tertekan. Apa sebenarnya masalah kita?

"I love you too." Klik. Telepon pun putus.

Lagi-lagi aku seperti suami patah hati yang ditolak istrinya sendiri. Shit!

Second Chance?Where stories live. Discover now