Zidan POV
Sore hampir malam ini, aku mengajar materi bahasa Arab di kelas 1 A MTs. Tepatnya, ba’da maghrib.
Baru saja aku memasuki kelas, sudah ada satu santriwati yang membuatku geram. Aku sungguh tak suka jika ada satu pun santri atau santriwati yang kuajar tertidur di kelas.
Awalnya, aku berusaha meredam kegeramanku. Namun, melihat teman sebangkunya dengan giat membangunkannya dan dia tetap tidak mau bangun juga, kadar kegeramanku kembali meningkat. Apalagi, mendengar panggilan ‘Bia’ yang terucap dari bibir santriwati yang kuketahui bernama Nurma karena dia adalah muridku ekstrakurikuler MTQ di pesantren milik abiku ini.
Muncul ide di otakku untuk mengabsen para santriwati hingga berujung pada namanya, ‘Hasbia Najiha Shanum’. “Hmm... nama yang indah,” batinku. Panggilanku tak disahutnya hingga ketiga kalinya. Aku melihat air muka para muridku yang lebih gelisah daripada awal aku masuk di kelas ini.
Seperti biasa, aku akan menerapkan hukuman bagi siapa saja yang tak mau menghargaiku di depan. Namun, hatiku berkata lain. Aku tak ingin bertindak sama dengan memberi hukuman selayaknya murid-muridku yang lain. Inisiatifku muncul untuk mengerjainya saja. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajak para santriwati di kelas ini pindah ke masjid dan meninggalkannya sendiri di kelas dalam kondisi lampu dimatikan dan pintu dikunci dari luar.
Setelah proses KBM selesai, aku, para jama’ah santri dan santriwati, serta warga pesantren lainnya melaksanakan shalat ‘isya’ di masjid. Waktu kuhabiskan untuk bermuraja’ah setelahnya. Hingga tepat pada pukul 21.00 WIB, aku teringat telah meninggalkan adikku, oh bukan! Yang benar adalah aku telah meninggalkan salah satu santriwatiku di kelas.
Lalu, aku segera kembali ke kelas Hasbia. Aku mengintipnya dari luar dan ternyata ia masih tidur. “Ckckck... emang dasar anak nggak peka!” kataku geleng-geleng kepala.
Baru saja aku menurunkan kepalaku, aku mendengar bahwa dia sudah terbangun. Kulangkahkan kakiku untuk kembali mengerjainya. Kubuka kunci kelas, kemudian kumainkan gagang pintu itu.
Aku mendengar dia berteriak, “Siapa di luar?” dengan suara orang takut. Aku kembali mendengar langkah kakinya mendekat. Firasatku mengatakan, ia mencariku dari balik jendela. Aku pun menjongkokkan diri untuk menghindarinya sambil terkikik geli.
Rencanaku untuk menakutinya terbengkalai akibat hadirnya Nurma ke kelas. Aku segera memindahkan tubuhku untuk enyah dari sana. Aku tak ingin ada fitnah atau cibiran yang tidak-tidak di pesantren ini tentangku.
Barulah setelah Nurma kebingungan saat Hasbia pingsan karena kostum yang dikenakan Nurma, aku datang menghampiri mereka berniat untuk menolong. Bukan modus! Dan aku melihat ada sesuatu yang aneh dari wajah Hasbia tatkala aku mengamati wajahnya. “Astaghfirullah hal ‘adzim,” gumamku.
*****
Author POV
Kriiinnnggg..... Kriiinnnggg.....
Hasbia berkali-kali menekan bel sepedanya kepada para pengendara dan pejalan kaki di depannya. “Jalan kaki nggak mau minggir. Udah tahu jalanan sempit,” gerutunya lirih.
Pagi ini, ia berangkat kuliah dengan tergesa-gesa. Kakinya mengayuh pedal sepedanya begitu cepat. Ia naik sepeda karena bus gratis yang rutin mengantar anak sekolah telah lewat sejak tadi. Tetapi, alhamdulillah dan beruntungnya sepeda mininya sudah dapat digunakan kembali.
Pagi ini, Hasbia terlambat bangun. Ia bangun pukul 07.00 WIB, sementara jam kuliahnya masuk pukul 07.30 WIB. Semalam, ia kesulitan tidur karena memikirkan Farras hingga akhirnya ia kesiangan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuntutan Cinta
SpiritualRank #10 - motivation (17-06-2018) Rank #9 - motivation (09-08-2018) Rank #8 - motivation (06-08-2018) Rank #7 - motivation (23-06-2018) Rank #2 - beda (06-09-2018) Rank #1 - beda (09-09-2018) Rank #1 - gus (13-12-2018) Hasbia: "Kau bagai debu tersa...