Poətre #02: Namanya Karang, Tak Suka Laut dan Diam-diam Menghanyutkan

21.1K 2.4K 455
                                    

Wahai rembulan di langit pekat
Untuk kali pertama kita menatap dekat
Di seberang lautan jiwa tak terlihat
Sekeping hati telah jatuh dan terpikat

Akan cinta,
dan petikan suaranya
Akan bahagia,
pun jua kumpulan kata yang mengikutinya

Untuk kali pertama
Pria bodoh ini jatuh dan cinta
Untuk kali pertama
Hatiku milik dia si pemilik cokelat tua

Untuk gadis angka lima dari seorang pria Agustus yang biasa.

Untuk gadis angka lima dari seorang pria Agustus yang biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau balikan sama mantan nggak salah, kan?"

Di saat sebagian manusia di dalam ruang kelas itu mulai bersahutan. Ternyata ada satu kegiatan yang tak pernah terlihat meski bisa dirasakan.

Ruang kelas dengan penghuni tujuh belas anak perempuan dan lima belas anak laki-laki ini memang mempunyai sejuta rahasia tersembunyi. Namun jika gaduh dan rusuh sudah menjadi kebiasaan, maka tidak jika mata kalian menyelisik lebih jeli.

Di sana, pada bagian sisi bangku yang berlainan, ada dua anak manusia sedang termenung dengan pikirannya.

Pertama; si gadis berambut hitam kuncir kuda di bangku paling depan di dekat jendela, yang kebetulan sedang berkutat dengan novel romansa digenggamannya. Sedangkan yang kedua; si pria bermata hitam legam di bangku paling belakang samping jendela, ia yang sedang sibuk menerka lamunan kosongnya pada angkasa.

Namun kau tahu, Yogyakarta?

Lagi-lagi detik ini tanpa ada satu orang yang menyadari mereka, kini kedua orang itu memiliki satu persamaan simetris yang nyata. Netra dengan corak warna berbeda itu kini sudah sama-sama menatap ke arah luar jendela, di mana gugusan langit biru terbelah di wajah bumantara.

Sebab pada dasarnya, langit adalah kesukaan mereka.

"Wida!" panggil seseorang, mengagetkan. "Widaku sayang kamu di mana?!"

Dari ambang pintu berwarna krem, gadis berambut sebahu itu sudah memanggilnya berulang kali dengan lantang. Sedangkan orang bernama Wida langsung memutar poros kepala sambil merotasikan matanya bosan.

Bisa tidak, sih, orang bernama Fadea itu tidak berisik sekali aja pas jam istirahat?

"Kenapa lagi sih, Dea?" jawab Wida sembari menelungkupkan novelnya di atas meja.

"Kamu mau tahu nggak?"

"Mau tempe aja."

Singkat dan cepat, gadis berkuncir kuda itu langsung menjawab dengan nada acuh tak acuh. Di sisi lain, ingin rasanya Dea mencakar wajah Wida, sungguh.

"Menyebalkan sekali lagi, aku lempar kamu ke hatinya mantan, ya!" ucap Dea, berjalan mendekat ke arah meja Wida.

"Plis, deh!"

"Salah siapa membuat hati seorang Fadea naik darah." Gadis berambut sebahu itu lantas berujar lagi. "Jadi gimana, pengen tahu nggak?"

"Kenapa, kenapa, kenapa, hm? Mau ngasih tahu kalau kamu dari kantin habis dipalaki sama si ketua OSIS itu lagi?" sindir Wida.

"Ih kok bisa tahu, sih?" Jadilah heboh seorang Fadea, lengkap dengan wajah sok kagetnya. "Iya nih, hatiku baru aja dipalakin sama Mas Sipit. Gimana dong? Aku harus degdegan atau jadi kapur barus aja?"

Ternyata tidak ada bedanya. Mau Wida atau pun Dea. Mereka ternyata sama saja. Manusia yang sepertinya terlalu banyak makan bumbu penyedap rasa.

Di sisi lain, salah besar keputusan Wida untuk menanggapi ucapan Dea. Gadis itu langsung merotasikan lagi bola matanya malas. "Terserah, De! Terserah!"

"Hehehe. Ya bukanlah! Ini beda cerita lagi Widaku sayang," lanjut Dea sambil menarik bangku kosong di sebelah Wida. Gadis itu lantas mengabsenkan pantatnya ke kursi. "Kemarin malamkan aku nggak sengaja dengar siaran radio---"

"Terus?"

"Belum selesai, Bambang! Haish!" teriak Dea, geregetan. Sedangkan orang di sebelah dia sudah mengulum senyum kemenangan.

"Ya udah lanjutin, Bawang."

"Cih, ngeselinkan!" cibir Dea, melirik sengit. "Eh tapi ini beneran ada berita heboh. Aku aja sampai heran, kalau ternyata...."

"Ternyata apa?" tanya Wida antusias karena tiba-tiba dibuat menggantung dengan ucapan Dea.

"Percaya nggak kalau kamu itu punya pengagum rahasia?"

Air muka Wida yang tadinya penuh semangat langsung berubah tak ada minat. Bola mata cokelatnya kini langsung mengatup cepat. Omong kosong macam apa lagi sekarang? Sia-sia telinga dia mendengar celotehan Dea. Tanpa aba-aba, langsung saja Wida mengambil novelnya lagi dan melanjutkan kegiatannya tadi.

"Ih, ini serius, Wida!" kata Dea kemudian merogoh saku seragam. Gadis berambut sebahu itu lantas mengeluarkan ponsel hitam. "Nih ya kalau kamu nggak percaya. Kemarin sempat aku rekam, ya meskipun ujungnya cuma bagian terakhirnya doang. Soalnya nggak keburu, sih."

Wida sekilas melirik ke arah di mana jemari Dea bergerak lincah di atas papan layar empat koma delapan inci itu.

"Oke, ketemu juga. Dengerin baik-baik, ya!" suruh Dea.

"Untuk gadis angka lima dari seorang pria Agustus yang biasa. Anjir! Ini kenapa jadi romantis sekali sih sajaknya? Aku jadi ingin memacari penyair aslinya.

"Oh ya, sampai lupakan. Itu tadi secarik dari penggalan sajak yang membuat hatiku tertegun untuk sesaat. Sungguh, karena hello... jarang banget ada anak laki-laki jaman sekarang bersedia ngirim puisi balada ke radio. Kayak ngerasa, hei, ini serius?

"Dan untuk kamu... gadis angka lima itu, selamat! Ternyata sajak indah tadi untuk kamu. Tapi sayang, di sini nggak ada nama lengkap dari sang pengirim, eh bentar-bentar, sepertinya di pojok paling bawah sendiri ada satu catatan kakinya. Aku bacain dulu, ya

"Oh ada, katanya... kepada bintang sampaikan sepotong malam teruntuk dia, gadis bermata cokelat tua bernama Wida dari XII IPA-1 SMA Negara. Dari saya, sepotongan Karang yang tak suka dengan lautnya. Asyem... jadi tambah menyublimkan ini aku. Hei, ini kenapa dia romantis sekali, sih...."

Cukup empat menit Wida mendengar, cukup empat menit pula gadis itu dibuat bungkam sebentar. Entah tanpa ia sadari, kini hatinya jadi langsung tertuju pada satu nama yang sejak tadi berada di benaknya ini.

Karang. Laut. Gadis angka lima. Dan itu... pria Agustus.

Kenapa perasaannya jadi makin kuat mengarah pada dia? Tiba-tiba wajah Wida menoleh, tepat, ke arah di mana bangku paling belakang itu berada.

Nggak mungkin Kalan, kan?

Istiharat pertama kala di mana hati seseorang mencoba menerka sang logika. Wida tak tahu satu hal tentang rencana semesta. Tanpa disadari, laki-laki yang sibuk menatap langit biru itu... dia tersenyum. Namun seolah langit memberi tahu, pemuda itu lantas menoleh, membalas tatapan Wida.

"Jangan ditatap lama-lama, nanti kalau jatuh cinta saya yang susah."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dua Frekuensi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang