Poətre #08: Tentang Delapan dan Cerita di Tepi Jalan

18.7K 1.9K 681
                                    

Untuk yang singgah tapi tak sungguh
Untuk yang sungguh tapi dipisah jauh
Untuk yang jauh tapi merasa jenuh
Untuk yang jenuh tapi berakhir runtuh
Untuk yang runt uh merindukan utuh
Hati... lekaslah kamu sembuh

Untuk gadis yang rapuh dari pria baru yang jauh.

"Udah pacarin aja, Wida! Kalan juga ganteng, kok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Udah pacarin aja, Wida! Kalan juga ganteng, kok."

Perkataan seorang Dea selepas waktu olahraga kemarin, ternyata berhasil tertanam dalam ingatan jangka pendek seorang Kalan. Apalagi selepas ia melihat sendiri wajah merona seorang Wida yang kelabakan.

"Lucu juga," gumam Kalan. Sejalan dengan sepeda itu yang akhirnya berhenti mengayuh sebentar pada lampu merah.

Kepala tersebut lantas mendongak ke atas. Lihatlah langit baratmu Yogyakarta. Semburat jingga melukis tipis wajah bumantara. Senjamu hari ini sepertinya akan segera tumbang. Merah bata itu kian ingin beranjak pulang ke peraduan, hingga mega kelabu berisi gulungan pekat tiba-tiba perlahan datang.

"Mungkin malam ini langit akan menangis lagi," ucap pemuda Kalantara.

Dari atas sepeda fixie putihnya, Kalan menembus jalanan sore yang semakin meremang. Dua pedal itu kembali ia kayuh lebih kencang. Satu belokan lagi, pemuda berseragam putih dengan bawahan celana krem itu akan sampai. Benar saja, tak kurang dari dua menit, bangun gedung di mana tempat tinggalnya sudah terlihat. Sepeda yang membawanya itu pun langsung masuk ke area basement.

"Baru pulang, Mas Kalan?"

Seorang pria paruh baya penjaga gedung berujar, tepat selepas pemuda yang dipanggil Kalan itu memarkirkan sepedanya di tempat biasa.

Bibir itu tersenyum singkat. "Iya, Pak Barjo. Baru pulang."

"Kok tumben baru pulang, Mas?" ujar Pak Barjo, berjalan mendekat ke arah Kalan di dekat sepeda. "Biasanya jam setengah empat juga sudah sampai. Pasti habis pacaran dulu ya tadi, Mas?"

Kalan yang mendengar ucapan Pak Barjo tidak bisa untuk tidak tersenyum. Bibir itu melukis kurva tipis yang terbuka ke atas. "Iya nih, Pak Barjo. Tadi habis pacaran dulu sama bayangan."

"Dih, Mas Kalan mah garing bercandanya," tutur Pak Barjo sambil menjawil lengan Kalan.

Hanya senyuman yang selalu Kalan berikan. "Ya udah, Pak. Saya mau naik ke atas dulu. Mari, Pak Barjo."

"Monggo, Mas."

Sepasang kaki lantas mengayun ke arah pintu lift. Kebetulan sebelum dia mau menekan tombol, pintu tersebut ternyata sudah terbuka. Kalan tekan tombol angka dua begitu masuk.

Ting.

Persis ketika pintu lift terbuka. Ponsel dalam saku celana Kalan bergetar. Sambil berjalan keluar ia buka pesan tersebut.

Dea:
| Hei, Cakep
| Berhubung Dea Imut ini selalu baik
| Aku mau kasih tahu
| Wida masih jomblo, kok

Kalan yang membaca kalimat terakhir Dea langsung menggelengkan kepala. "Apa serandom itukah seorang Dea?" Belum sempat jemari Kalan mau membalas. Satu pesan susulan dari Dea masuk lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dua Frekuensi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang