Poətre #04: Antara Fisika Kuantum, Metafora dan Kesialan Semata

12.9K 2K 378
                                    

Semesta, salahkah pria memendam rasa?
Pada ia, yang telah menjatuhkan kata cinta
Yang mengenalkan kalimat rasa bernama bahagia

Semesta, perkenalkan sanubari namanya
Si perasa yang diam-diam tak bersuara
Yang gravitasinya akan terus jatuh pada si pesona

Untuk gadis penebar bahagia dari manusia penyuka fisika.

"Kamu itu dikirim Tuhan buat jadi pacar aku atau tukang baperin anak gadis, sih?" omel Dea, selepas mengetahui aksi Aken mengusap saus yang menempel di sudut bibirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu itu dikirim Tuhan buat jadi pacar aku atau tukang baperin anak gadis, sih?" omel Dea, selepas mengetahui aksi Aken mengusap saus yang menempel di sudut bibirnya. "Tuh lihat, Wida jadi pengen diusap jugakan bibirnya?"

Kena lagi.

Baru dua menit gadis itu duduk di bangku kantin, sudah saja dinistain. Begini memang risiko kalau Wida memutuskan untuk bergabung bersama Aken dan Dea. Nelangsa pasti ujung-ujungnya. Maka dari itu, lebih baik Wida meladeni sekalian ucapan Dea.

"De, kata kamu, temen itu saling berbagi, kan?" ucap Wida, menatap dengan binar memohon, hingga beberapa saat dia tolehkan kepala pada pemuda di sebelah Dea. "Sini dong, Ken. Bagi perhatianmu juga buat aku. Aku juga mau diusapin bibirnya."

"Berani melangkah sekali lagi. Garpu melayang, ya?" tandas Dea.

Bukannya melerai mereka. Pemuda yang kini tengah menjadi topik perdebatan dua gadis itu justru malah tertawa. Senang rasanya Aken bisa melihat rukun persahabatan mereka.

"Heh, Sipit!" teriak Dea. "Ini pacar kamu lagi mau berantem lho, dilerai kek, malah senyum-senyum ganteng bikin baper anak cewek di kantin."

Yang sedang dimarahi justru langsung mengulurkan gelas minuman pada Dea. "Ya udah, minum dulu. Habis ini kamu masih harus berantem sama ulangan fisika, kan?"

Sial!

Bicara soal fisika, Wida tiba-tiba jadi teringat dengan perkataan siaran radio semalam. "Dari si manusia penyuka fisika," gumam Wida, yang ternyata gumamannya berhasil membuat Aken dan Dea menolehkan atensi mereka.

"Tadi kamu ngomong apa?" tanya Dea.

Gadis yang ditanya itu langsung mendongak ke arah Aken dan Dea. "Hah?"

"Hah, hah mulu deh. Makan cabe aja engg---eh bentar, atau jangan-jangan aku tahu. Pasti kamu tadi lagi ngomongin Mas Mantan, kan? Iya, kan? Ngaku nggak?!"

Wida langsung merotasikan bola matanya kesal. Dari banyaknya sebutan nama panggilan, kenapa harus menyebut nama itu segala, sih?

"Nyebut nama Mas Mantan sekali lagi, ini saus aku olesin di alis kamu, ya?!" sanggah Wida seraya mengerucutkan bibir mungilnya. "Lagian siapa juga sih yang mau ngomongin kapten futsal itu?"

"Ya terus tadi kamu ngomong apa?"

Yogyakarta, kau tahu, lidah Wida tiba-tiba serasa kelu seperti ditali pati, bahkan kini enggan untuk berucap kata-kata lagi.

Dua Frekuensi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang