Poətre #03: Selasa dan Sebuah Rahasia Kecil Manusia

14.7K 2.1K 472
                                    

Dalam diam ia menatap asa
Mengukir kumpulan aksara
Bernama cinta dan tanda bacanya
Kala senja berwajah merah merona
Tinta hitamnya mulai lincah berbicara
Perihal engkau wahai gadis bahasa
Dan kisah kita yang ternyata fana

Untuk gadis bahasa dari pria yang tak pandai berbicara.

Untuk gadis bahasa dari pria yang tak pandai berbicara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kartonyono ning Ngawi medot janjimu.... Ambruk cagak kunuruti angen-angenmu...."

Andai di kelas XII IPA-1 tidak ada manusia konyol bernama Dea, sudah dapat Wida pastikan... bahwa kelasnya ini akan menjadi kolam rawa-rawa, lengkap dengan embel-embel kelas kutu buku seantero SMA Negara.

Bersyukur juga Wida punya sahabat seperti Dea---ya meski urat malu gadis itu entah ada di mana. Lihat saja semesta, gadis berambut sebahu itu masih saja lincah menyenandungkan lagu Kartonyono Medot Janji di depan papan tulis, lengkap dengan gagang sapu di depan bibir seolah tengah mengisi festival musik lokalis.

Namun tak apa. Setidaknya, berkat manusia bernama Fadea itu, penghuni XII IPA-1 menjadi mengerti artinya berbagi sebuah tawa, bukan hanya ambisi untuk mengejar cita-cita semata.

Barangkali seperti yang selalu Wida yakini. Mungkin suatu saat, kau akan bertemu dengan sebuah fase, di mana kau akan merindukan suara tawa dari kenangan masa-masa SMA.

"Heh, itu yang lagi pegang buku Matematika!" teriak Dea, menunjuk ke arah Wida yang tengah menyelesaikan tugas trigonometrinya. "Sawerannya dong!"

Wida yang mendengar pun langsung pura-pura tak kenal. Bukan teman dia katanya.

"Mentang-mentang murid kesayangannya Bu Haryuni. Jangan pelit nyawer dong!"

Sial, lagi-lagi Wida langsung mencebikkan bibir kalau sudah menyangkut nama Bu Haryuni---guru Bahasa Indonesia mereka.

Begini ya, Yogyakarta. Bagaimana Wida tidak sebal coba, setiap kali pelajaran Beliau, Wida yang selalu ditunjuk oleh Bu Haryuni. 'Wida, baca halaman seratus dua', 'Wida ke kantor guru ambil buku EYD saya', 'Wida kamu ikut tim mading, ya?', dan masih banyak lagi nama Wida.

Jujur, gadis penggemar es teh itu juga sempat heran, kenapa dari tiga puluh dua manusia di IPA-1, kenapa harus selalu dia? Entah, Wida juga tak paham dengan cara kerja semesta yang berhasil membuatnya kesal hanya karena Bahasa Indonesia.

"Hei, mana sawerannya woi!" ulang Dea, membuyarkan lamunan singkat Wida.

"Kalau aku yang nyawer mau nggak?"

Hampir semua kepala yang ada di dalam kelas langsung menoleh ke arah manusia di ambang pintu. Di titik itu, sudah ada senyuman seorang laki-laki dengan aroma wangi narwastu.

"Mas Sipitku!"

Kalau mengutip ucapan Dea, sudah waktunya untuk bucin bersama pacar.

Wida yang melihat tingkah mereka juga sempat terheran, kok bisa ya si mantan Ketua OSIS itu jatuh hati dengan Dea? Padahal sifat mereka saling bertolak belakang. Tapi setelah diamati lagi, ternyata memang benar kata Yogyakarta. Manusia itu membutuhkan sukma manusia lain yang berbeda. Yang bisa melengkapi seperti cara kerja enzim pada manusia.

Dua Frekuensi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang