Patient

1.8K 264 272
                                    

Baru beberapa langkah kakiku memasuki Kejora, Ava -rekan sesama pelayan- menyongsong kehadiranku dengan tergopoh. Alisku terangkat melihat dirinya yang tampak cemas. Tidak hanya aku, Andre yang berjalan di belakangku pun ikut menatapnya bingung.

"Aduh, Keira, untung lo udah di sini. Dari tadi ada pelanggan yang nyariin lo. Dia maksa banget pengen dilayani lo." Ava memijit pelipisnya. "Gue sampe pusing, nih. Tiap menit dia manggil gue cuma buat nanyain lo. Mending kalau habis dijawab langsung diem, eh dia malah ngomel-ngomel. Dia curiga kalau lo cuma lagi sembunyi."

Aku dan Andre saling berpandangan. Siapa sebenarnya pelanggan itu?

Tiba-tiba Ava menyodorkan sebuah note dan pulpen. "Nih, lo layanin tuh orang!"

Aku menatap note dan pulpen itu, lalu beralih ke wajah Ava, "gue ganti baju dulu, ya."

Ava langsung menggeleng, "udah nggak usah. Buruan ke sana, tadi dia udah lihat lo dan dia bilang ke gue kalau lo harus segera ke sana."

Kali ini Andre ikut menimpali, "siapa sih emang tuh orang? Seenaknya aja nyuruh-nyuruh. Sini gue aja yang dateng."

"Nggak usah, Ndre," aku menyentuh lengannya untuk mencegahnya. "Lo pulang aja. Gue mau kerja. Makasih ya es krimnya."

"Tapi --"

Sebelum Andre menuntaskan kalimatnya, aku segera menyela, "udah sana buruan!"

Andre mengangkat bahu. "Okelah. Bye!"

Sepeninggal Andre, Ava menunjukkan padaku letak meja pelanggan yang ia maksud. Dengan sedikit berdebar, aku mendekati lelaki yang sedang duduk membelakangiku itu.

"Maaf, Anda mau pesan apa, ya?" tanyaku.

Mendengar suaraku, lelaki itu segera menurunkan ponsel yang dibawanya dan membalas tatapanku.

Ya ampun! Bukankah dia orang yang kemarin? Siapa namanya? Kevin? Gavin? Seharusnya aku sudah bisa menebak kalau pelanggan menyebalkan itu adalah dia.

"Kamu?" tanpa sadar telunjukku menunjuk dirinya.

Gavin tertawa. "Nggak usah sok formal gitu, deh. Ngomongnya pake lo gue aja. Kecuali kalau kita udah jadian."

"Jadian?"

Gavin mengangguk. "Gue ralat perkataan gue kemarin. Kalau ternyata lo eligible ya lo masih punya kesempatan buat jadi pacar gue."

Hah? Orang ini nggak waras! Percuma ganteng kalau otaknya bermasalah.

"Oke, terserahlah lo mau ngomong apa." Aku mengeluarkan pulpen dan note yang sejak tadi kumasukkan dalam saku. Lalu aku bertanya, "mau pesan apa?"

Bukannya segera menjawab, ia malah menopangkan dagunya di atas tangan. Sebelah tangannya kembali memainkan ponselnya.

Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan kesal. Sabar, batinku menyemangati diri. Untuk kedua kalinya aku bertanya, "lo mau pesan apa?"

Gavin masih membisu. Ia hanya mengubah posisinya. Punggungnya ia sandarkan ke kursi, sedangkan yang membuatku tak habis pikir adalah kedua kakinya ia letakkan ke atas kursi lain.

Ia pikir ia ada di rumahnya sendiri? Seenaknya saja bertingkah seperti itu.

"Ah, ya sudahlah." Aku bersiap melangkahkan kakiku menjauhinya sebelum ia memanggilku lagi.

"Keira, lo tuh pelayan di sini dan gue pelanggan. Ingat, pelanggan itu raja. Sini layanin gue."

Aku berbalik dan berkata lagi sambil memalingkan wajah, "oke, mau pesan apa?"

"Gue nggak mau pesen kalau lo buang muka kayak gitu," katanya.

Dengan terpaksa, aku menatap wajahnya dan memaksakan seulas senyum. "Sekarang bilang ya apa pesanan lo. Gue masih ada kerjaan lain."

"Gue nggak mau pesen kalau senyum lo nggak ikhlas!"

Secara refleks, aku mengepalkan tanganku. Rasanya aku ingin sekali melayangkan tinju padanya.

"Udah, Ra, nggak usah diladenin," perintah sebuah suara.

Aku menoleh ke asal suara. Sudah kuduga suara itu adalah milik Andre. Aku sedikit tercengang. Bukannya tadi dia sudah pulang?

Andre mendekatiku dan menatapku sekilas. Lalu ia memandang sebal ke arah Gavin. "Kalau lo berani gangguin pegawai di sini, gue panggil satpam ya biar lo diusir."

Gavin berdiri dan tertawa. "Lo siapa?"

Sebelum suasana memanas dan kami menjadi tontonan gratis bagi orang-orang di sana, aku segera menyentuh lengan Andre. "Udah, Ndre, nggak usah diurusin."

Tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Gavin, Andre bertanya padaku, "lo mau dia kurang ajar ke pelayan lain juga?"

"Pelayan ini yang kurang ajar duluan ke gue," ujar Gavin.

"Maksud lo karena kejadian kemarin?" tanyaku.

Lagi-lagi Gavin hanya tertawa. "Gue pergi, deh."

Andre dan aku menatap punggung lelaki itu. Baru beberapa langkah, ia membalikkan badannya.

"Tadi gue cuma nguji kesabaran lo aja. You're so patient with me. Bisalah lo masuk kriteria gue," ujarnya padaku sebelum kembali melangkah pergi.

Kepergiannya sekali lagi meninggalkan tanda tanya di kepalaku. Mungkin tidak hanya di kepalaku, tapi juga di kepala Andre.

***





10 Reasons Why [END]Where stories live. Discover now