The Ugly Truth

1.3K 132 236
                                    

Gerbang besar dengan tralis yang cantik itu telah terbuka setengah. Aku melangkah melewatinya seraya menoleh ke kanan kiri. Memastikan apakah ada orang di halaman depan.

Mataku tertubruk pada seorang wanita yang tampak kepayahan dengan pot besar di tangannya. Cepat-cepat aku menghampirinya dan membantunya memindahkan pot itu. Wanita bertopi itu sedikit terkejut dengan kehadiranku, tetapi ia hanya melempar senyum.

Setelah pot berhasil dipindahkan, aku menepuk kedua tanganku yang sedikit kotor. Wanita di depanku juga melakukan hal yang sama. Cahaya matahari di hari Minggu itu menyilaukan pandanganku sehingga aku terus memicingkan mata.

Melihat ekspresi wajahku, wanita itu segera menggamit lenganku, membawaku ke teras. Kami duduk di kursi rotan yang diletakkan di sana.

"Terimakasih ya sudah bantu saya. Mmm ... Kamu temannya Gavin, ya?" Wanita itu sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat padaku.

Aku mengangguk. "Iya, Tante. Gavin ada?"

Kutebak bahwa wanita bersuara lembut itu adalah ibunya Gavin. Aku sedikit menggerutu dalam hati. Kenapa Gavin tak memberi tahuku bahwa ibunya ada di sini? Sekarang aku berada di posisi yang tidak mengenakkan.

"Oh," gumamnya. "Saya mamanya Gavin. Kamu panggil saya 'Mama' aja, ya."

Mama? Maksudnya ia memberiku lampu hijau untuk....

"Teman-teman Gavin dan Vika selalu saya suruh panggil 'Mama'. Saya seneng kalau dipanggil begitu biar kelihatan akrab," lanjutnya.

Aku manggut-manggut. Kurutuki pemikiran anehku tadi.

"Oh, iya nama kamu siapa?"

Aku membenarkan posisi dudukku karena sedikit gugup. "Keira, Tan ... Eh, maksudnya Mama."

Wanita yang kini kupanggil Mama itu mengangguk paham. Beberapa detik tak ada satu pun dari kami yang bicara. Kuputar otakku untuk mencari bahan yang bisa kami bincangkan.

"Mama udah lama di Jakarta? Kata Gavin, Mama tinggal di luar kota." Hanya itulah kalimat yang muncul di pikiranku.

Mama tersenyum, mirip seperti Gavin. "Mama baru aja sampai tadi shubuh. Ini kejutan, Mama nggak ngasih tahu ke Gavin atau pun Vika. Tapi sekarang Vika udah tahu. Tinggal Gavin deh yang masih ngorok di kasur. Aduh, itu anak bener-bener, ya."

Mama menggelengkan kepalanya, tangannya menyentuh pelipis seolah memeragakan betapa sedihnya ia memikirkan kebiasaan Gavin. Aku tertawa pelan melihatnya. Ternyata Gavin juga belum tahu jika Mama datang.

"O, iya tadi nama kamu siapa? Maaf Mama lupa. Maklum, sudah kepala lima."

Tanpa menunjukkan kesan tersinggung, aku mengulang, "Keira, Ma."

Raut di wajah Mama tampak berubah. Apakah ada yang salah dengan ucapanku?

"Kamu Keira?" Mata Mama berbinar, ia tampak menahan senyum. "Ya ampun akhirnya Mama ketemu kamu."

Nah, Gavin pasti sudah bicara yang tidak-tidak tentangku pada Mama. Mendadak aku semakin mati kutu.

"Gavin banyak cerita soal Keira ya, Ma?" tanyaku sedikit takut.

Bukannya menjawab, Mama malah bangkit dari kursinya. Ia berdiri di hadapanku dan merentangkan tangannya. "Boleh Mama peluk kamu?"

Pertanyaannya membuatku bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya? Namun, aku hanya diam, bangkit, dan memeluknya. Selama beberapa saat kami berpelukan. Kurasakan ia membelai rambutku, lalu mencium dahiku.

"Gavin ngomong yang enggak-enggak ya tentang Keira?" tanyaku heran begitu ia melepaskan pelukannya. Kedua tangannya masih menggenggam tanganku.

"Gavin nggak cerita apa-apa soal kamu. Dari dulu dia memang nggak terbuka sama Mama. Kalau ada masalah dia nggak pernah ngomong. Malah si Vika yang diam-diam cerita ke Mama tentang kamu. Katanya, sejak kenal kamu, Gavin jadi ceria. Dia udah nggak ... Apa ya namanya?  Ah, iya, galau! Dia udah nggak galau lagi seperti hari-hari kemarin. Makanya tujuan Mama ke sini salah satunya untuk membuktikan kata-kata si Vika. Putri Mama itu juga cerita kalau kamu sempat bantu Gavin jagain Zain. Kalian...." Mama menatapku hati-hati. "Pacaran?"

10 Reasons Why [END]Where stories live. Discover now