Funny

1.7K 247 257
                                    

Gawat!!

Dengan menghimpun seluruh kekuatan yang kumiliki, aku berlari melewati gang-gang kecil menuju sekolahku. Aku semakin memperbesar langkahku begitu kulihat gerbang sekolah yang hampir tertutup. "Hap!" Tepat sebelum Pak Dadang -satpam sekolah- menutup gerbangnya, aku melompat.

Sebelum melanjutkan perjalananku menuju kelas, aku mengatur napas sejenak. Aku melirik jamku yang sudah menunjukkan pukul 07.12. Masih ada tiga menit sebelum ujian dimulai. Meskipun aku termasuk dalam jajaran anak yang sering telat, aku tak mau melakukan hal yang sama di hari pertama ujian. 

Ujian kali ini berbeda dari biasanya. Disebabkan oleh suatu alasan, ujian dimulai dari Hari Rabu. Karena terbiasa memulai ujian di Hari Senin, tadi aku sempat lupa. Untung saja, Andre meneleponku berkali-kali untuk membangunkanku dan mengingatkanku pada ujian ini. Dan hal yang lebih kusyukuri adalah aku masih sempat belajar selama satu jam.

"Maaf, Pak. Saya terlambat." Aku berdiri di dekat gagang pintu, sementara murid-murid lain sudah duduk di kursi masing-masing dan berkutat dengan soal ujian.

Pak Heru mengangguk dan tanpa banyak berpikir, ia mempersilakanku masuk. Beliau segera memberiku lembar soal.

Seperti yang sudah-sudah, setelah lewat empat puluh menit, mulai terdengar suara-suara dari teman-temanku. 

"Nomer satu dong," ujar seorang murid. "Nomer dua puluh apa?" tanya yang lain. "Empat A apa B nih?" 

Sebelum mereka mulai menanyaiku, aku memutuskan untuk mengumpulkan lembar jawabanku. Ketika aku berdiri, seluruh mata melihatku takjub. Pak Heru bahkan menyempatkan diri melihat jam dinding. Barangkali beliau heran kenapa aku bisa keluar secepat itu. Terlebih, kami sedang ujian matematika hari ini. Tentu membutuhkan banyak waktu untuk mengerjakannya.

Aku tak pernah tahu kenapa selama ini aku bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan mudah. Walaupun hanya belajar sebentar, rumus-rumus itu begitu cepat terserap dalam otakku. Guru SD-ku pernah memuji otakku ini. Saat aku kecil, ia tak bisa berhenti tersenyum melihat piala yang kudapatkan dari lomba matematika yang kuikuti. Meski begitu, sampai saat ini aku tidak pernah sedetik pun merasa pintar. 

***

Sebelum bel pulang berbunyi, Pak Heru berkata, "Anak-anak, sebelum pulang kalian kumpul di aula, ya." Pengumuman itu langsung disambut dengan keluhan dari para murid.

"Mau ngapain sih, Pak?" tanya Jalu. "Nanti waktu belajar kita buat besok habis, nih."

"Iya, Pak, udah pulang aja," timpal Lili.

Mendadak suasana kelas menjadi riuh. Pak Heru pun angkat bicara lagi, "hari ini ada beberapa mahasiswa dari UI yang akan mengadakan sosialisasi seputar dunia perkuliahan. Kalian wajib ikut sebagai persiapan kalian nantinya."

Akhirnya murid-murid pun menurut, meskipun aku yakin betul bahwa akan ada beberapa di antara mereka yang diam-diam pulang. Aku sendiri sependapat dengan Pak Heru. Sosialisasi itu pasti akan berguna untuk bekal kami ke depannya. Karena itu aku memutuskan hadir.

"Wah, gue nggak sabar nih, pasti mahasiswa itu kece-kece." Bunga senyum-senyum sendiri dengan pandangan menerawang.

Kuputar bola mataku malas. "Dasar!"

Kami berdua berjalan menuju aula yang sudah dipenuhi murid-murid. Sebuah kursi yang masih kosong di ujung ruangan menjadi tujuan kami. Detik berikutnya, aku sudah asyik memerhatikan para mahasiswa yang sibuk menyiapkan layar LCD, speaker, dan sebagainya. Tiba-tiba saja aku menangkap sesosok laki-laki yang kukenal di antara kumpulan mahasiswa itu.

"Gavin?" bisikku pada diri sendiri. 

Apakah dia juga mahasiswa yang akan mengisi acara ini? Sebelum Gavin melihatku, aku harus segera pergi. 

"Bunga, gue pergi dulu, ya." Aku menepuk pundak Bunga.

Temanku itu menatapku heran. "Eh, mau kemana? Kayaknya udah mau mulai lho."

"Keluar sebentar," kataku.

Aku bernapas lega setelah berhasil keluar dari aula. Namun, tiba-tiba saja seseorang berkata tepat di belakangku. "Keira, kok nggak masuk?"

Suara yang sangat dekat itu membuatku terlonjak. Aku berbalik dan kulihat Gavin sudah tersenyum padaku.

"Lo? Lo ngapain ikutin gue?" tanyaku.

"Tadi gue lihat lo keluar. Makanya gue susul. Udah masuk sana."

Aku menggeleng, "nggak mau. Gue mau pulang aja."

Keberuntungan sepertinya tak berpihak padaku. Tepat ketika aku hendak melangkah pergi, Bu Tiwi lewat. Aku tersenyum pada beliau. Namun, yang dilakukan Gavin selanjutnya justru membuatku kesal.

"Bu, anak ini mau kabur," adu Gavin sambil menunjukku.

Aku menghentikan langkah, hendak memprotes kata-katanya, tapi Bu Tiwi segera berkata, "Mbak, jangan coba-coba kabur, ya. Ayo masuk."

Setelah Bu Tiwi meninggalkan kami, Gavin berseru senang, "yess!!"

10 Reasons Why [END]Where stories live. Discover now