Part 7

3.6K 341 1
                                    

Dan hari ini, genap setengah tahun kepindahanku ke Jogja.

Sebuah izin kepindahan paling tak masuk akal untuk disetujui sebenarnya, mengingat perusahaanku tidak semudah itu memberi izin mutasi kepada karyawannya yang terhitung masih baru sepertiku.

Tetapi bukankah memang Tuhan itu Maha Baik sekaligus Maha Mendengar, maka semenjak aku tahu Saga menetap di Surabaya, bekerja di sebuah kantor advertising besar yang setahuku tidak memungkinkannya untuk pindah-pindah.
Maka tanpa pikir panjang aku mengajukan kepindahanku ke Jogja.

Bukannya tanpa alasan aku memutuskan pindah ke kota ini, karena beruntungnya Mbak Aya, juga mengikuti dinas suaminya ke Jogja sejak dua tahun lalu.

Sempat aku menerima protes dari teman-temanku di Malang, yang merasa tidak terima karena aku memutuskan pindah secara mendadak dan beruntungnya aku bisa mendapatkan pengganti secepat mungkin.

Dan sekarang disinilah aku, di sebuah kota dimana aku bisa merasa asing atas kehadiran Saga.

"Re, tadi ada telepon dari Pak Marzuki, katanya nanti beliau mau ada penarikan jumbes.."

Ucapan Renita mengagetkanku yang siang itu entah bagaimana ceritanya, bisa memiliki kesempatan untuk melamun.

"Uangku cuma 700an, nih, Ren. Nanti bon ya.."

Renita hanya mengacungkan jempolnya di udara mengiyakan permintaanku.

Maka untuk sementara ingatan tentang Saga harus terlebih dulu kubiarkan.

Sore ini entah kenapa bank yang biasanya tidak begitu ramai di hari Rabu, mendadak terlihat padat antrian.

"Loh, Renjana, kan?"

Keningku berkerut, tanda tak begitu mengenali sosok di depanku yang giliran antriannya baru saja kupanggil.

"Iya, maaf dengan Bapak siapa?"

"Buset, dipanggil Bapak. Angga, Re. Angga Hadinata masa lupa?"

Ingatanku masih dipaksa mengingat-ingat satu sosok yang mengaku bernama Angga itu.
Namun sepertinya aku sama sekali gagal mengingat dimana sebelumnya aku pernah bertemu dengan Angga-Angga ini tadi.
Wajahnya sama sekali jauh dari akrab.
Tetapi ketika dia mengenakan kacamatanya yang sedari tadi ditaruh di dalam saku kemejanya, tawaku seketika pecah.

"Hadi??? Ya ampun, pake sok nama Angga segala di depan gue ya.."

Perlahan ingatanku kembali.
Angga Hadinata, yang dulunya lebih sering kupanggil Hadi ini kenalanku semasa kuliah dulu.

Lebih tepatnya, ia sahabat baik Sagara.

Crap.

Circle yang lagi-lagi disitu-situ saja.

"Buru ih transaksi apa lu, Hadi.."

Aku masih tak semudah itu menahan tawa didepan laki-laki yang dulunya selalu kukenal sebagai sosok yang paling konyol diantara teman-teman Sagara yang lain.

"Lu asli makin cakep banget, Re. Gue mah dari dulu udah feeling lu bakalan ketrima kalo ngelamar kerja disini. Muka lu mendukung banget anjir..."

"Pelanin suara lu, Hadi. Supervisor gue bisa langsung mindahin lu ke ruangan prioritas karena dikira lu keganggu ama gue.."

Angga alias Hadi ini segera kulayani transaksinya, karena kalau harus kubiarkan lama-lama pasti akan lebih banyak topik-topik yang sebenarnya sangat kutakutkan untuk muncul sekali lagi.

"Ada lagi yang bisa saya bantu, Bapak Hadi?"

Aku menggoda Angga sekali lagi setelah memastikan seluruh transaksinya selesai.

"Ada, lu catet nomer Whatsapp lu di slip gue dong, Re..."

Aku mendelik.
Gila ini anak.

"Udah, di slip lu kan ada nomer elu. Ntar deh gue yang WA lu.."

Aku masih berkilah. Sedikit khawatir atas permintaan Angga yang sebenarnya biasa saja itu.

"Kagak ada, gue tahu lu banget, Re. Udah lu tulis aja, daripada gue komplain ke atasan lu karena lu mengabaikan nasabah? Gimana hayo.."

"Asli ya, lu kampret banget.."

Ucapku bersungut-sungut sambil menuliskan beberapa nomor di balik slip yang kusodorkan kepadanya.

"Gitu dong.."

Angga mengangguk-angguk penuh kemenangan karena berhasil membuatku menuliskan nomor kontakku.

"Masalahnya pas banget ini buat reunian lagi, Re. Sagara lagi dinas di Jogja juga.."

Aku seolah tersengat listrik mendengar ucapan ringan Angga.

"Gue repot.."

"Gue gak percaya. Ya udah, makasih ya, Re.."

Aku yang masih seolah tersambar listrik tadi sama sekali tidak bisa menjawab salam dari Angga, seperti seharusnya dan seperti biasanya.

Kabar mengejutkan itu mendadak membuat kepalaku pusing, dan dengan sekali sentak aku segera memutar nama counterku sehingga terlihat dari antrian bahwa aku sedang close layanan.

Aku sama sekali tidak bisa santai dengan kabar seperti itu.

"Ciye yang baru tukeran nomer WA langsung close.."

Celetukan iseng dari Renita hanya kuabaikan dengan senyum masam.

Segera aku membereskan seluruh slip, merapikan counterku, dan me-sign out komputerku.
Satu yang sedang kupikirkan saat ini ; aku harus segera menenangkan debar jantungku sendiri.

"Bu Fajar, maaf saya izin ke belakang sebentar.."

Segera aku menghampiri supervisorku yang sebenarnya daritadi mengamati interaksiku dengan Angga.
Karena jelas sekali transaksi sederhana tadi kuselesaikan melebihi limit waktu layananku yang seharusnya.

Dan seperti memahami ekspresi wajahku yang mendadak pucat, Bu Fajar memilih tak begitu banyak bertanya.

"Minum air atau cari angin sebentar sana, Re.. Antriannya masih masuk akal kok.."

"Makasih, Bu.."

Seketika aku masuk ke dalam ruangan.
Jantungku rasanya seperti akan lompat dari tempatnya.
Dan itu sama sekali tidak sehat untukku.

Segara Renjana (hapus sebagian karena proses penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang