Part 16

3.4K 297 3
                                    

Renjana POV

Jujur, sebenarnya aku sama sekali bukan penikmat karya seni.
Musik akustik? Hm.. Bolehlah. Tetapi untuk art, apalagi yang modelannya mirip-mirip seperti pameran yang sekarang kuhadiri, rasanya jauh dari Renjana yang selama ini kukenali sendiri.

Lalu kenapa kamu mau lelah-lelah mendatangi acara seperti ini, Re?

Tentu saja ada alasannya saudara-saudara...

Dan inilah alasanku, yang sedang berdiri dihadapanku sambil menjelaskan sebuah lukisan hasil karya salah satu teman band-nya.

Rambutnya yang agak gondrong dan diikat rapi kali ini membuat fokusku agak terpecah.
Belum lagi ia sudah mengganti kaosnya yang penuh peluh dengan kemeja biru muda berlengan panjang yang ia gulung sesiku.

Aku tidak bohong, kali ini Mas Arya benar-benar terlihat lebih menarik daripada ia yang aku temui beberapa tahun lalu.

"Jeng, kamu dari tadi pasti gak perhatiin ceritaku, kan?"

Celetuknya tiba-tiba yang membuat pipiku menghangat.

"Eh.."

"Eh, apaan coba? Aku tau kali, pandanganmu kosong banget kesitu.."

Ucapnya ringan sambil menujuk tulisan didepanku yang memang tidak bisa kupahami sedikitpun penjelasannya.

"Emang susah banget ya ngajak kamu serius, Jeng. Jadi inget pas kita mau tugas praktek dulu deh.."

Keningku berkerut.

Aku bahkan tidak ingat apapun tentang tugas praktek yang Mas Arya bicarakan.
Memang, sih, kami dulu sangat kebetulan satu lokasi ketika lembaga kami mengadakan semacam tugas praktek yang lebih mirip dengan kelas mengajar ke beberapa daerah di seluruh Indonesia.

"Tuh, udah lupa aja. Yang lupa gak bawa modul tapi malah siap sarung tangan buat jalan-jalan siapa ya?"

Sontak aku tertawa.
Ingatanku berputar ke kejadian beberapa tahun lalu.

Dimana aku dan Mas Arya yang saat itu ditugaskan ke Palembang.
Saat itu memang jabatan koordinator ada di tangan Mas Arya, yang membuatku agak 'kurang ajar' dengan membiarkan dia yang mengatur seluruh kebutuhan mengajar, termasuk modul, yang seharusnya juga menjadi tugasku.

Kebiasaanku yang mudah tergantung pada Mas Arya ternyata berakibat kurang baik.

Aku melupakan modul pendamping yang seharusnya digunakan untuk referensi bahan ajar kami berdua.

Saat itu dengan wajah yang kubuat semelas mungkin, aku meminta maaf dan meminta maklum dari Mas Arya.

Dan yang namanya Aryananda Nugraha, jelas hanya memasang wajah sok galaknya tapi tersenyum juga dan membiarkanku merepotinya dengan meminta kiriman bahan via email, setiap harinya, selama dua bulan.

Dan satu momen yang tadi ia ingatkan adalah ketika pernah salah satu dari murid kami mengajak jalan-jalan, yang otomatis pasti naik motor, maka dengan sigap aku mengeluarkan sarung tanganku.

Mas Arya yang memboncengku saat itu hanya diam saja. Tetapi ketika kami makan bersama di sebuah kedai, ia tiba-tiba iseng bertanya.

"Itu sarung tangan mendadak beli gitu, Jeng?"

Ucapnya asal sambil mengarahkan dagunya kepada sarung tangan ungu yang kugeletakkan diatas meja.

"Oh ini, nggak beli kok.."

"Lah terus, nyiapin dari Malang?"

Aku mengangguk pelan. Sama sekali tidak paham kenapa laki-laki ini jadi suka mengurusi hal remeh temeh seperti ini.

Mas Arya tiba-tiba tertawa keras, membuatku menghadiahinya pandangan tak mengerti.

"Aku jadi pengen tau deh, Jeng. Nawaitu-mu datang kesini itu ngajar atau emang jalan-jalan, sih? Modul gak dibawa, tapi sarung tangan malah siap. Aku curiga kamu udah ada planning jalan-jalan, deh, jadinya.."

"Apaan sih.. Nggak lah.."

Aku memukul pelan lengan Mas Arya, sedangkan ia cuma pura-pura marah dengan masih menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak paham.

"Don't make me feel bad, deh.."

Sekali lagi Mas Arya masih menggoda ku yang mulai cemberut karena mengingat kejadian itu.

Salah satu kejadian yang juga mencairkan kekakuan antara aku dan Mas Arya yang sempat tercipta sebelum kami bisa se akrab ini.

------

Dan belum habis tawaku saat mengobrol dengan Mas Arya, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang memanggilku dengan sedikit ragu.

"Re.."

Aku masih hafal suara itu.
Sumpah mati aku masih sangat mengingat sosok seperti apa yang memiliki suara itu.

Dan benar saja, jantungku hampir mencelos saat mendapati Sagara yang malam itu terlihat rapi dengan kemejanya, menyapaku dengan senyumnya yang ragu-ragu, seolah menghapuskan seluruh ingatan burukku tentang laki-laki itu, dulu.

Segara Renjana (hapus sebagian karena proses penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang