Part 15

3.3K 315 6
                                    

Mendadak pandangan gue terhenti kepada satu sosok perempuan dengan kemeja lengan sesiku-nya berwarna pink. Rambutnya yang kecoklatan digulung keatas agak acak-acakan, dan terlihat dari tempat gue berdiri bentuk senyum yang hampir selalu gue ingat sejak pertama kali gue menginjakkan kaki di Jogja.

Tapi sekali lagi pandangan gue terhenti karena terlihat perempuan itu tidak sendirian.
Ada seorang laki-laki yang tingginya kurang lebih seperti gue, sedang menjadi alasan perempuan tadi tersenyum lebar, bahkan sampai terbahak-bahak.

Laki-laki berkacamata itu terlihat sedang menjelaskan sesuatu kepada Renjana, yang disambut dengan tawa lepas dari gadis itu.
Tawa lepas yang dulunya gue tahu, hanya ada untuk gue.

Dan seketika hati gue terasa ngilu sekali lagi.

Gue yakin betul itu Renjana.
Karena sama sekali tidak banyak yang berubah dari perempuan itu, selain gurat-gurat wajahnya yang semakin menunjukkan bahwa dia bukan lagi Renjana yang gue kenal lima atau tiga tahun lalu.

Renjana yang semakin mendewasa dan terlihat semakin membuat hati gue ngilu, sementara gue masih dengan ketidakmampuan yang sama untuk sekadar menjadikan Renjana lebih dari seorang teman.

Shit.

Apa gue baru saja mengakui kekalahan di tempat seramai ini?

Apa iya, seorang Sagara Wahyu Putra ini harus kalah dari laki-laki berperawakan tak meyakinkan macam itu?

Dan sebelum semakin banyak umpatan yang keluar dari pikiran dan hati gue sendiri, kaki gue sudah terlebih dulu melangkah ke arah Renjana.

"Re.."

Gue merapal doa di dalam hati.
Berharap suara yang keluar dari mulut gue ini tidak terdengar serak.
Iya, gue kangen berat sama perempuan satu ini.
Tapi nggak mungkin, kan, gue langsung tubruk tubuh mungilnya itu dengan pelukan?

Seketika gue melihat Renjana menoleh, berbarengan dengan laki-laki yang hampir gue timpuk sepatu dari belakang itu karena dengan lancang membuat Renjana tertawa lepas seperti tadi.

Dan dari sorot terkejut Renjana saat matanya bertubrukan dengan mata gue, gue tahu bahwa Renjana masih ingin berlari dari gue.

"Apa kabar, Ga?"

Gue masih kesulitan mengartikan wajah Renjana yang minim ekspresi itu.

Okelah gue tahu dia sangat, atau bahkan amat sangat terkejut.
Karena gue masih mengenali tatapan terkejutnya yang sama seperti ketika kali pertama gue meraih paksa binder yang ia genggam, demi mengetahui namanya.

Bedanya, kali ini Renjana lebih dewasa dalam merespons keterkejutannya.
Ia tidak lagi bereaksi berlebih sampai mengibaskan tangan gue, walau kali ini gue bahkan masih belum tahu apakah gue harus menjabat tangannya atau langsung memeluknya.

Ah, shit.
Gue kenapa, sih?

"Baik, Re. Nggak nyangka kita bisa ketemunya disini.."

Kali ini gue mengalahkan keinginan gue untuk langsung memeluk tubuh mungil itu, dan memilih mengulurkan tangan untuk menjabatnya.

Jabatan tangan gue disambut ragu, namun tak urung diterima juga oleh Renjana.
Entah itu karena dia memang ingin bersentuhan tangan dengan gue, atau memang dia hanya ingin menghargai gue, who knows?

Mata Renjana menjadi semakin sulit gue tebak.

"Iya.. Oh iya, Ga, kenalin ini Mas Arya. Mas Arya, ini Sagara. Temanku kuliah dulu.."

Renjana masih saja tidak memahami gue.

Apa perempuan itu terlalu butanya sampai dia tidak melihat ekspresi gue yang amat sangat tidak bersahabat kepada si Mas.. tunggu.. Renjana memanggil Mas?

Dan kenapa hanya gue yang diperkenalkan kepada si lawan salaman gue ini, sebagai teman kuliah lagi.
Nggak ada rencana untuk menambah embel-embel 'dekat' atau 'sahabat' gitu, nih, Re?

Laki-laki yang sialnya dipanggil Renjana dengan sebutan 'mas' itu menjabat kuat tangan gue.

Dan gue nggak bego.

Dengan caranya yang terlihat begitu ingin mengesankan kepada gue bahwa dia adalah sosok spesial bagi Renjana, justru membuat gue paham, posisi gue dan dia itu sama ;

masih mengejar dan berusaha mendapatkan hati Renjana.

Segara Renjana (hapus sebagian karena proses penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang