Chapter 05 || Miranda Kerr

181K 12.4K 214
                                    

Semua pandangan tertuju pada gadis cantik berambut sepinggang masuk ke ruang rawat Vania. Senyumnya mengembang kaku pada wanita paruhbaya yang duduk di samping Vania dan juga pada pria tua kisaran 60 tahunan duduk di sofa bersama pria yang Ily yakini Ayah Vania.

Masih berdiri kaku di depan pintu, Vania lebih dulu merentangkan tangan berharap gadis itu memeluknya. Ily tersenyum samar berjalan cepat memeluk Vania erat.

"Gimana? Dapat nomor berapa?" tanyanya menarik Ily duduk di pinggir ranjang. Celine berdiri menjauh memberi ruang keduanya untuk mengobrol.

Ily tak lantas menjawab. Jari telunjuknya diketuk-ketukkan di dagu seakan berpikir. Vania greget meremas tangan gadis itu dengan kuat. Ily refleks berteriak, menyadari bukan hanya mereka ia pun membekap mulut.

"Rasain!" seloroh Vania. "Jadi?"

Melihat ekspresi sahabatnya yang tidak sabar mendengar ceritanya, Ily menaikkan tiga jari membuat Vania menganga.

"Juara tiga?"

Ily mengangguk membenarkan.

Berbeda dengan Ily yang sudah sangat puas atas hasil kompetisinya, Vania sebagai pendukung saja malah kecewa berat. "Kenapa nggak juara satu? Kamu kan sering juara."

"Kali ini bukan rejekiku, Van. Gimana keadaan kamu?" tanyanya dengan suara lembut. Mengamati kondisi Vania yang semakin kurus saja.

Suara lembut, bergetar dan dalam itu membuat Vania tahu jika Ily merasa sedih melihatnya seperti mayat hidup. Ily meraih tangan Vania yang dipasangi infus lalu mengelusnya dengan lembut.

"Sakit, ya? Tiap saat ditusuk jarum," getarnya tanpa menatap Vania. Ily hanya berfokus menatap tangan Vania yang entah keberapa jarum infus tertempel di sana.

"Nggak sama sekali, aku kan udah biasa." Vania membantah meski dalam hati membenarkan.

"Kamu sayang aku, kan?" tanya Ily tiba-tiba. Berusaha menatap mata Vania.

"Kenapa kamu nanyain itu?"

"Pergi."

Vania terhenyak menatap Ily berusaha tegar. Begitu pun orang yang ada dalam ruangan memperhatikan keduanya.

"Maksud kamu?" Vania menarik tangannya dari genggaman Ily.

"Kamu bukan orang bodoh yang nggak tahu maksudku, Vania."

Vania tertawa sinis. Tidak menyangka Ily memintanya pergi.

"Ily," lirih Vania.

"Jangan bertahan karenaku! Kamu harus ikut mereka supaya bisa sembuh. Mereka keluargamu dan mereka mau yang terbaik. Bukannya selama ini kamu mau sembuh?"

Vania mengangguk, Ily tersenyum.

"Ini satu-satunya jalan," sambung Ily.

"Tapi kamu sen---"

"Aku nggak sendiri. Ada Nu Rani dan anak-anak lain di panti. Jangan mikirin aku! Pikirin dirimu sendiri." Ily kembali tersenyum pongoh. "Sebagai sahabat aku nggak bisa lakuin apa-apa selama ini. Maafin aku," sesalnya menunduk.

Vania meraih tangan Ily dan memeluknya. "Nggak. Jangan minta maaf. Aku bersyukur karena punya kamu."

"Aku lebih bersyukur mengenai itu," sahut Ily mempererat pelukannya. Matanya kini berkaca-kaca, rasanya menyesakkan melepas orang paling berharga dalam hidupnya.

"Ayo sembuh, Vania. Demi keluargamu, Bu Rani dan juga aku."

Jauh dari lubuk hatinya ia tidak ingin Vania pergi. Tapi Ily tidak egois mementingkan kehendaknya. Hidup Vania bergantung dengan keputusan Vania sendiri. Setelah ini Ily berharap Vania menyetujui permintaan keluarganya.

Vania mengurai pelukan mereka. Cairan bening lolos dari kedua sudut matanya.
"Kalau aku pergi berarti aku ninggalin kamu. Aku nggak mau ingkar janji."

"Lebih baik ninggalin aku sementara dari pada selamanya. Kamu tahu, aku udah kehilangan Bunda-ku selamanya dan aku nggak mau kehilangan lagi yang kedua kalinya. Kamu tahu maksudku. Jadi kumohon pergilah." Ily berusaha meyakinkan Vania.

Vania menunduk beberapa lama, kedua bahunya kini bergetar hebat menahan isak tangisnya keluar. Padahal ia sudah bertahan tapi tetap saja ia tidak punya pilihan.

Perlahan Vania mendongak menatap Ily berusaha tersenyum. Gadis itu mengangguk pelan, tandanya ia setuju ikut keluarganya. Ini demi Ily, setidaknya kepergiannya tidak menambah luka sahabatnya. Vania harus segera sembuh demi bisa kembali menemui Ily.

Ily tersenyum senang sekaligus sedih. Ia kembali memeluk Vania yang tak kuasa menahan tangisnya. Kedua gadis itu meluapkan emosi setelah memberi harapan besar pada orang-orang di sana.

*****

Ily tersenyum menatap bintang bertebaran di atas langit. Ia telah melakukan yang terbaik. Besok pagi mereka akan membawa Vania ke Jerman. Meski sedih sahabat satu-satunya akan meninggalkannya tidak membuat ia menyesal. Baginya, hidup Vania lebih penting dari egonya.

"Kayaknya akan turun hujan."

Seseorang duduk di samping Ily yang juga menatap langit malam. Tidak merasa terganggu karena kehadiran orang asing itu sebab mereka pernah berbertemu di ruang inap Vania. 

"Masa? Bintangnya masih banyak gitu." Ily menunjuk langit tidak setuju.

"Iya banyak, bukan berarti hujannya nggak akan turun."

"Sok tahu," cibir Ily tanpa melihat pemuda di sampingnya.

Pemuda itu terkekeh memperhatikan wajah Ily dari samping. Gadis itu sahabat adiknya yang selama ini menghilang. Dan gadis itu juga adalah gadis yang mengobrol dengan  Bu Rani di rooftop. Pemuda itu tersenyum samar kembali memperhatikan langit yang memancarkan sinar terangnya. Keduanya terdiam.

"Makasih."

Ily menoleh ke arahnya. Ia tidak mengerti kenapa orang itu berterima kasih.

Menyadari kebingungan di mata cantik Ily, pemudah itu pun kembali bersuara, "Tentang Vania, makasih karena di sampingnya selama ini."

"Kakak nggak perlu berterima kasih, Vania sahabat aku, udah sepantasnya aku di samping dia. Lagi pula dulu Vania juga lakuin yang sama," cetusnya tersenyum lembut.

Hero--Kakak kandung Vania--pun ikut tersenyum. Keduanya kembali memutuskan pandangan. Ily memandang langit sementara Hero berdeham menetralkan kecanggungan yang ia rasakan.

*****

Pagi-pagi sekali Vania dan keluarganya berangkat ke Jerman. Ily dan Bu Rania mengantar ke Bandara. Saat di bandara Ily berusaha untuk tidak menangis di depan Vania karena sudah pasti gadis itu ikut menangis. Sebenarnya Ily tidak ingin mengantar tapi Bu Rani memaksa karena Vania dan keluarganya yang meminta.

Karena kebetulan hari minggu, Ily langsung menuju tempatnya bekerja sekembalinya dari Bandara. Dengan beraktivitas Ily yakin akan melupakan kesedihannya sejenak.

"Anterin ini ke meja 9 ya!"

Aldo meletakkan nampan berisi orderan di meja meminta Karina mengantar, namun Ily langsung menyambar dan membawanya ke meja nomor 9. Aldo dan Karina saling pandang tidak mengerti, Ily memang rajin tapi hari ini dia lebih rajin dari biasanya.

Ily menyapa tiga orang pelanggan di meja itu lalu meletakkan pesanan mereka.

"Selamat menikmat---"

"Miranda Kerr?"

Bersambung....

Hayo looh Mirande Kerr jadi-jadian muncul lagi 😭

Incredible Brothers (TERBIT)Where stories live. Discover now