1. Beranda, Tetangga

426 32 5
                                    

Beranda, Tetangga
"a short story by anonym"
(anggap aja prolog)

.

.

.

Menunggu tak selamanya berbuah pahit, kadang berbuah manis, bahkan sebelum ia matang.

🏡🏡🏡

TIAP hal memilki dua sisi seperti uang koin, termasuk kehidupan di tengah-tengah kabut perkotaan. Hidup di kota itu … memiliki cerita suka dan dukanya tersendiri. Sukanya seperti … fasilitas lengkap dan memadai--bagi yang berduit. Tinggal mencet android, makanan datang. Nggak usah panas-panasan keluar rumah. Cuma duduk manis di beranda sambil nunggu kurir.

Tapi, jangan tanyakan dukanya!

Kehidupan di perkotaan, selain diliputi hedonistik akut, juga terjangkit individualistik kronik. Misalnya: kamu tak pernah tahu wajah tetanggamu. Bahkan, tetangga yang berandanya hanya beberapa meter dari berandamu. Tetangga yang ketika kamu menelepon di beranda bisa mendengar apa yang kamu bicarakan. Bahkan, jika kamu menjepit jemuran dengan penjepit kertas karena malas pergi belu, ia bisa tahu--saking dekatnya rumahnya.

Namun, sayang, di perumahan elit tempatku ‘terpaksa’ nge-kost ini, aku tak pernah melihat wajah tetanggaku. Jangankan wajah, punggung bahkan bayangannya saja tak pernah. Karena itulah, kuputuskan untuk kepo pada tetangga depan kosanku.

MENUNGGU #1

Aku duduk sambil bercengkrama dengan nyamuk di sini, di beranda kosanku yang letaknya tepat di depan pintu kamarku. Sama seperti bercengkrama dengan teman, sesekali kalian akan memukul teman kalian kalau gemas. Nah, begitulah caraku bercengkrama dengan nyamuk yang tiap malam sudi menemaniku menunggu salah seorang penghuni rumah depan sana mau menampakkan wajahnya.

Rumahnya berada di depan kosanku. Kebetulan kamarku berada di lantai dua. Saat membuka pintu kamar, pemandangan pertama yang kusaksikan adalah teras mewah tetangga. Percaya tak percaya, di teras ada semacam meja beratapkan payung cokelat lebar seperti di pantai dan dikelilingi kursi putih. Kupikir, tetangga depan seorang arsitek. Desain rumahnya mirip dunia dongeng dan tak dapat aku jelaskan mendetail dengan kata-kata. Desain eksteriornya unik, seperti dunia fantasi; pagar putih, taman mini, tangga spiral, lampu hias, dan lainnya.

Barangkali Tuhan menyembunyikan jodohku di balik kaca jendela dan tembok kokoh di depan sana, ‘kan? Siapa yang tahu? Oke, aku akan duduk di beranda sini tiap malam, menunggu sebuah keajaiban.

MENUNGGU #2

Ini malam kedua aku harus duduk di beranda. Pura-pura memencet ponsel dan sesekali angkat wajah ketika mendengar penjual yang lewat. Entah penjual bakso, burger, roti, kacang rebus, putu menangis, dan apa pun itu.

Aku melihat seseorang di balik jendela kaca. Duduk pada sofa panjang dengan baju garis-garis. Beberapa saat berlalu begitu saja sebelum tirai tersingkap dan membuatku menunduk seketika, lalu angkat wajah lagi, dan tirai kembali ditutup dengan secepat kilat. Samar-samar kulihat ia pergi, hilang, dan efek lampu dari kamar yang menembus hingga beranda membuyarkan segalanya. Ia masuk kamar dan tak keluar hingga satpam kompleks memukul pentungan sebanyak 11 kali. Astagfirullah … esok hari aku harus penelitian di sekolah dan belum mempersiapkan apa-apa hingga jam 11 malam ini.

MENUNGGU #3

Jam baru saja menunjukkan pukul 6 lewat beberapa menit. Suasana kosanku mula ramai. Tetangga kamarku yang semuanya masih mahasiswa baru sibuk dengan rutinitas harian mereka, mempersiapkan segala bekal perkuliahan dengan semangat. Kubuka pintu kamar, menyapa tetangga kamar, menatap ke beranda tetangga yang lengang seperti biasa, lalu mengalihkan pandangan ke jalan. Sebuah mobil cokelat yang tak kuketahui mereknya sedang terparkir di sana, dan seorang laki-laki dengan kaos olahraga, celana pendek hitam, dan rambut awut-awutan nampak membersihkan mobil itu. Di dekatnya, berdiri seorang anak laki-laki berpakaian merah putih. Ah, akhirnya tetangga keluar dari semedi panjangnya di hari Senin yang ceriah meriah ini. Sayang, hanya punggung yang aku lihat. Selebihnya, aku tak berani menatap--lebih lama. Nanti-nantinya, aku dikira perampok yang sedang mengincar rumah rampokan.

Dan segala sesuatunya berjalan sedemikan adanya seperti yang telah digariskan oleh takdir. Aku masuk kamar mandi, masuk kamar, siap-siap, makan, ambil sepatu, dan mobil telah pergi. Raib. Entah ke mana. Dan yang tertinggal hanyalah sepi, lengang, dan terik yang mulai mengudara.

“Mau ke kampus?” tanya Bu Hajah--panggilanku untuk ibu kos. Kusempatkan tersenyum sesaat sebelum menjawab, “Tidak, Bu. Mau ke sekolah.”

“Belum terlambat toh? Sini, makan dulu!”

Tak sopan menolak rejeki. Apalagi mahasiswa semester 11 yang enggan-engganan minta uang lagi pada ortu sepertiku. Rejeki tak boleh ditolak. Aku duduk di kursi teras bersama Bu Hajah, mendengar cerita beliau tentang berbagai hal.

“Rumah yang di depan itu, pemiliknya dosen.”

Aku ngangguk, dosen yang mata kuliahnya ada hubungannya dengan arsitektur kali.

“Dosen Univeristas Islam A.”

Anaknya kali yang arsitek.

“Oh. Tapi, dijadikan kosan, ya, Bu?” tanyaku iseng.

“Ah, tidak.”

“Tapi saat pertama liat-liat kos, saya dengar ribut-ribut.”

“Itu anak-anaknya.”

Aku mengangguk lagi.

“Anaknya banyak.”

Ya, mungkin salah satunya jodohku. Tapi jangan yang SD.

MENUNGGU #4

Kepalaku terangkat refleks saat mendengar suara tawa anak kecil. Oh, si bocah tetangga yang sedang menatap ke arahku. Dan ia tak sendiri. Di sampingnya duduk seorang laki-laki yang sebaya denganku atau mungkin lebih tua. Laki-laki yang mungkin saja pemilik punggung yang selama ini aku lihat. Pandangan kami bersitatap selama beberapa detik sebelum ia mengalihkan wajahnya lebih dahulu dengan bibir tertarik ke samping dan bahu bergetar, pura-pura main ponsel, dan aku pun mengalihkan wajah untuk menutupi rasa malu karena baru saja ditertawakan.

Apa yang salah kalau aku naik ke atap untuk mengambil sepatuku yang sudah kering?

🏡🏡🏡

“Sepatunya sudah kering?”

Langkahku terhenti ketika mendengar suara laki-laki. Sedikit ge-er lebih baik daripada dikira sombong, ‘kan? Keningku mengerut dengan bibir sedikit terbuka.

Si tetangga tersenyum jahil di samping mobil merahnya, sementara mobil cokelat yang ia lap tiap hari terparkir beberapa langkah di depanku.

“Mau ngampus, ya?”

Tak sempat menjawab, ia bertanya lagi, “Semester berapa? Akhir, ya?”

Aku tertawa, “Kok tahu, Kak?”

“Menjepit jemurannya pake jepitan skripsi semua sih.” Tawanya meledak. “Saya pernah jadi mahasiswa kok. Tau 'penyakit jiwa' mahasiswa tingkat akhir.”

Aku ikut tertawa sambil mendongak ke lantai dua kosanku, menatap beranda tempat kamarku berada sambil menatap cucianku yang terjepit dengan jepitan kertas.

Kelihatan, ya?

Ah, aku menjepit pakaian dengan jepitan kertas bukan karena stress, tapi karena malas pergi beli jepitan baju.

“Mau bareng?” ajaknya. Suara itu seperti gelegar petir yang menyambar di siang bolong.

“Terima kasih, Kak. Gak ada mahrom.”

“Oh .…” Alisnya naik sebelah. “Mungkin lain waktu.” Dan senyumnya kembali diumbar.

Inilah obrolan pertama dengan tetangga setelah menunggu selama 3 hari 4 malam; tiap malam, tiap subuh, tiap hari, hanya demi melihat wajahnya. Tak buruk, ada garis-garis keramahan di sana. Tak ada keangkuhan meski ia orang berduit.

Akhirnya, penantian level 1 telah selesai: melihat wajah tetangga. Dan ada level bonus: diajak ngobrol oleh tetangga. Mungkin akan ada penantian level 2: menunggu dilamar, misalnya.

Ya, setelah dia jadi mualaf.

(Terkekeh dalam hati)

☆ ☆ ☆

-5 halaman
-1091 kata

Antologi Cerpen: Serdadu KataDonde viven las historias. Descúbrelo ahora