4. Meja Hijau di Tengah Jalan

178 15 0
                                    

Meja Hijau di Tengah Jalan
"a short story by khanza_inqilaby"

.
.
.

Panas! Sesak! Dahaga! Sekaligus lapar!

Tenggorokanku mengumpat bisu pada Kamis yang kering. Debu-debu jalanan beraspal yang dilalui angkot yang kutumpangi beterbangan ke segala penjuru; pertanda dari kemarau, bahwa ia masih setia menggunduli bumi.

Astaghfirullah .... Aku mengelus dada.

Kalau mengeluh terus-terusan begini, puasa kamu bisa makruh, Na. Kalau ibadah tuh yang ikhlas. Kalau gak ikhlas, jangan puasa! Akal sehatku memberikan kultum singkat. Kukipas tubuhku dengan tangan meski tak memberikan efek yang berarti, hanya sekadar formalitas yang dilakukan oleh orang yang terpepes di dalam angkot sepertiku. Apalagi dengan pakaian berlapis-lapis yang aku kenakan serta kerudung sepinggang yang juga dua lapis.

Namun, bukan salah pakaianku juga sebenarnya. Buktinya, penumpang lain yang berada di atas angkot ini--yang pakaiannya minim--juga ikut mengipas. Bahkan, seorang pemuda kurus berkulit putih pucat dan berambut minim yang duduk di depanku juga mengipas, padahal ia hanya mengenakan kaos oblong tipis dan celana jeans yang sobek--entah sengaja disobek atau memang benar sobek.

"Iya, Mak. Saya masih di jalan. Tinggal satu kali naik angkot. Tunggu, ya, Mak," ucap si pemuda--setelah mengangkat teleponnya yang berdering nyaring--dengan intonasi keras, berusaha menyangi alunan musik yang diputar supir angkot yang juga sangat keras dan berdentum-dentum hingga dadaku. Setelah mengucapkan salam dan menutup teleponnya, pemuda itu meminta maaf pada kami semua yang berada di dalam angkot atas keributan yang telah ia perbuat karena berteriak di telepon.

"Maaf, ibu saya baru datang dari kampung, harus dijemput di terminal." Dia memberikan penjelasan meski tak ditanya. Tak usah dijelaskan sebenarnya, kami pun mengerti kalau ia berbuat demikian karena ulah sopir angkot yang tak kenal toleran itu.

"Kamu di sini kerja?" tanya bapak berkumis lebat yang duduk di samping si pemuda. Yang ditanya tersenyum lebar sebelum menjawab pertanyaan.

"Kuliah nyambi kerja, Pak. Alhamdulillah."

"Wah, sudah semester berapa?"

"Alhamdulillah susah selesai. Besok saya wisuda, Pak. Makanya ibu saya datang dari kampung."

Aku memainkan ponsel, pura-pura tak perduli pada percakapan mereka.

Entah kenapa, aku menjadi kagum pada pemuda di hadapanku setelah mendengar ia bercerita tentang perjuangannya menuntut ilmu di Kota Daeng ini. Karena himpitan ekonomi, ia harus mencari uang untuk membiayai kuliahnya sendiri. Kadang mendapat teguran dari dosen karena penampilannya tak menggambarkan seorang mahasiswa. Keringat berleleran, pakaian lusuh, tas dan sepatu yang mengiba minta 'makan'. Namun, mendengar pengakuannya yang telah berhasil meraih gelar Sarjana Sosial, entah kenapa, aku menjadi ikut senang.

Memang tak boleh menilai orang lewat penampilan. Karena bisa jadi mereka yang berpakaian compang-camping, robek sana robek sini, jauh lebih luhur hatinya dibanding mereka yang berdasi bahkan berpeci.

Kita bisa tahu apa yang ada dalam kepala manusia: otak. Tapi dalam akalnya: siapa yang tahu?

"Kiri, Pak," ucap Susi, teman yang akan kutemani melalang buana mencari bahan-bahan untuk membuat media pembelajaran hari ini, menyetop angkot tiba-tiba.

"Turun sini aja, Na! Ada yang mau aku beli."

Aku mengiyakan. Toko yang akan kami kunjungi memang tak jauh dari sini.

Antologi Cerpen: Serdadu KataWhere stories live. Discover now