6. Kemarau Dua Hari di Januari

177 9 0
                                    

Kemarau Dua Hari  di Januari
"a short story by IndahPratiwiAzzahra"

.
.
.

Hujan dan dingin-dingin hari yang kulalui membuat hatiku hijau tak tersentuh. Angkuh, melankoli adalah julukan yang disematkan padaku. Namun, peduli apa dengan julukan itu. Jangan asal, menuduhku pria angkuh dan melankoli. Sebab kau tidak akan pernah tahu rasanya, didera perasaan yang tak letih, walau berkali-kali dihajar perih.

Rintik-rintik air di Januari ini kadang halus, kadang pula deras seperti mempurnakan kepedihan. Berharap ada kemarau walau hanya sehari, supaya hangatkan hati yang kian hari kian hijau dan beku.

Aku berteduh dari rinainya hujan dalam perjalanan usai mengajar. Motor aku parkirkan di sisi pendopo rumah adat. Di situ ada sejumlah orang, mereka berjas seragam warna merah. Di bagian lengan seragam itu disematkan nama institut tertentu. Aku menerka; mereka mahasiswa KKN, dilihat dari barang yag mereka bawa. Seorang gadis berambut sebahu, kulitnya kuning langsat, matanya bulan sabit, rambutnya cokelat terang, dan hidungnya mungil. Dia menghampiriku sembari mengulas senyum, memamerkan deretan gigi putihnya yang rata.

“Hai, maaf, Mas. Boleh saya bertanya ?” ucapnya sopan, senyumnya penuh sihir.

“Boleh,” sahutku singkat.

“Rumah Pak Lurah di mana, ya?” tanyanya.

“Ikuti saja jalan ini. Di depan ada pertigaan, belok kiri. Pada sayap kanan jalan, ada rumah warna maron, itu rumahnya.”

Dia diam menyimak. Sulur rambutnya dilepas angin dari ikatan, menutupi wajahnya. Tak hanya rambutnya yag dikibarkan angin, kelopak bougenvile juga ikut lepas dari tangkai, diceraikan paksa oleh angin dan hujan.

“Makasih, ya, Mas.” lagi-lagi ia menawarkan senyum, aku mematung. Barangkali sekarang ia akan ikut menjulukiku angkuh, sebab bibirku kaku tidak ingin membalas senyum. “Oh iya, kenalkan, saya Maria Naynawa. Mahasiswi yang lagi KKN di sini,” katanya lagi mengenalkan diri, tangannya terulur menampilkan jari-jari lentik. Sepertinya ia memang niat pamer.

“Pramudia Az-Zahrawi.” Singkat sekali. Aku memang tidak pandai berlama-lama bicara perihal tetek bengek seperti ini. Dia kembali tersenyum, kini ginsulnya yang tadi luput dari penglihatanku, nampak jelas.

“Pram?” Barangkali maksudnya nama panggilanku.

“Ya?” Aku bingung, dia memanggilku atau apa.

“Panggil saya Nay,” katanya, senyum itu tidak juga hilang. Meski tipis, tak mengurangi kadar manisnya. Tapi, namanya itu adalah padang di Karbala. Padang Naynawa, tempat yang mengukir sejarah kepedihan umat Islam.

“Iya.” aku benar-benar lelaki konservatif. Baru kali ini aku berharap hujan akan lama. Sepertinya harapanku yang kemarin terkabul, ada hangat menyeruak ketika bercakap dengan gadis ini.

“Mas Pram ... asli di sini?” tanyanya memecah bisu di antara kami. Kelompoknya hanya mengobrol di antara mereka. Dari percakapan yang sekilas didengar telingaku, mereka baru saling kenal lewat KKN ini.

“Pram ?” Suaranya menjeda pikiranku yang sibuk.

“Ah ya, maaf.” sahutku.

“Kamu asli di sini ?” tanyanya ulang.

“Iya, aku asli di sini, tapi baru dua tahun kembali ke sini.”

“Ke mana saja selama ini?” Raut wajahnya penuh tanya.

“Ke tempat-tempat asing yang penuh kehidupan,” sahutku ambigu.

“Kamu unik.”

“Apanya?” Aku menelisik wajahnya, bola matanya bertemu pandang dengan mataku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 24, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Antologi Cerpen: Serdadu KataWhere stories live. Discover now