BAB 6

1.3K 80 4
                                    

Masuk ke dunia yang  masih begitu asing bagiku, awalnya begitu berat. Aneh bahkan. Dunia yang membuatku seperti orang lain bagi diri sendiri. Bahkan butuh waktu yang tak sebentar demi menerima segala perubahan atas diriku sendiri. Hal-hal tabu yang selama ini mendapat penolakan dari hatikupun, berlahan mulai bisa aku terima. Semua hanya satu alasan. Demi Jealani.

Ah, perempuan itu. Berhasil merubahku menjadi yang dia mau. Merubahku menjadi yang berlahan menjadi mauku. Merubah hampir semua hal yang bahkan tak pernah terfikirkan olehku. Merubahku menjadi perempuan pemuja perempuan. Menjadi perempuan yang begitu mencintai perempuan. Perempuan yang semakin hari semakin kasmaran pada perempuan. Yah, kasmaran pada perempuan yang kusebut sebagai kekasihku.

"Aku merasakan hal yang berbeda sejak bersamamu," kata kekasihku.

Sore itu, aku dan kekasihku memilih menikmati sisa waktu sembari menunggu senja disebuah  cafe dengan pemandangan hamparan pantai yang membentang seakan tak berujung. Sesekali kekasihku membenahi anak-anak rambut diwajahnya.

Perlahan, kuseruput robusta yang masih terasa hangat dari cangkir putih depanku.

"Tau gak?" katanya lagi.

Aku menoleh.

"Ngak," balasku sekenanya.

"Yah gak lah. Aku belum ngomong apa-apa kok," timpalnya menahan tawa. Aku tersenyum.

"Apa?" tanyaku.

"Setiap berdua dengan kamu, aku ngerasa kek panas dingin," jawabnya.

Keningku berkerut. Pelan kutempelkan punggung tangan kekeningnya.

"Ini biasa aja, sayang. Gak panas, gak dingin," kataku.

"Yaelah," lalu diraihnya tanganku. 

Nah, giliran aku yang merasa panas dingin.

"Aku gak pernah merasa sebahagia setiap kali bisa berdua seperti ini," katanya lirih.

Duh. Saat-saat  seperti inilah aku kadang kelabakan sendiri. Serba salah dan salah tingkah. Meski telah memasuki tahun pertama, namun setiap kali kekasihku mulai bertingkah bak Juliet, perasaan risihmasih saja menguasai. Risih dengan tatatapan sekitar. Risih karena aku tahu, tatapan yang mengarah pada kami adalah tatapan aneh, bahkan mungkin tepatnya jijik.

Tatapan yang sama, ketika aku melihat pasangan belok sebelum akhirnya aku menjadi bagian dari mareka. Risih, karena tahu, aku dan kekasihku dimata mereka adalah hal tabu. Tabu dalam hal apapun.

Dan saat kekasihku mulai menggenggam dan sesekali mengelus punggung tanganmu, saat itulah risihku semakin tak terkendali.

Ah, maafkan aku kekasihku. Maafkan kekasihmu ini yang hanya mampu mencintai tanpa keberanian mengumandankan pada semesta dan seluruh isinya.

"Love you, sayangku," katanya dengan seuara berbisik.

"Eh, iyah. Love you to sayangku," balasku terbata.

Yah, aku tahu, kekasihku tahu jika saat itu aku mulai tak nyaman.

Genggaman tangan dia lepas. Dan kembali membetukan duduknya.

Senja semakin turun. Sebentar lagi sampai dipenghujungnya. Jingga mulai menguasai semesta. Semakin mendekati malam, semesta semakin memberi kedamaian.

"Ke pantai yuk," ajakku.

Mengajak kekasihku beranjak dari tempat itu adalah pilihan tepat. Cafe tempat kami ngopi, semakin ramai. Dan aku merasa, kekasihku pun mulai tak nyaman. Karena pada dasarnya, kami adalah pasangan yang menyukai ketenangan. Yang senyap diam. Tanpa riuh tatapan yang menghujami seakan hendak menelanjangi.

Tanpa menjawab, kekasihku bangkit dari duduknya. Setengah menarik, meraih tanganku. Dan kamipun bergegas meninggalkan tempat itu.

Angin tengah bersahabat senja itu. Riak ombak tak begitu gelisah. Bahkan terlihat tenang. Setenang kekasihku yang menggelayut manja sembari mengimbangi langkahku.

"Aku suka senja," kataku.

Setengah tengadah, kekasihku menatap sendu.

"Kalau disuruh memilih antara aku dan senja..."

"Tetap saja aku memilihmu, pesek," potongku sembari menarik kecil ujung hidungnya yang nyaris mendekati minimalis.

"Senja itu kepastian. Pasti meninggalkan kita setiap kali tiba dipenghujungnya. Meski esok dia kembali dengan wajah bersemunya. Yah, kadang datang dengan wajah suram. Nah, kamu?" balasku bertanya.

Kekasihku tak langsung menjawab. Aku tahu, dia tengah menikmati terpaan angin yang lembut mengusap wajah halusnya.

"Bodoh kali sayang aku meninggalkanmu. Aku yang meminta kamu menjadi seperti aku. Seperti yang selalu aku bilang, mendapat cintamu adalah hal yang luar biasa dalam hidupku. Apalagi yang aku cari. Semua-semuanya aku dapatkan dari kamu," katanya.

Nah...nah...Setiap kali mengucapkan kata itu, darahku berdesir lebih cepat. Kata-kata yang bahkan telah kuhafal di luar kepala. Kata-kata yang selalu membuatmu merasa berarti. Kata-kata sederhana, namun mampu membuatku begitu berarti dimata kekasihku.

Bersama Jealani kekasihku, terkadang hidup kami seperti barisan kisah-kisah roman yang seakan tak pernah berakhir. Meski kadang  tiba-tiba berubah konyol.

Dan langkah kami terhenti tepat ketika lingkaran sengja setengah tenggelam.

Kujatuhkan duduk di atas pasir. Tepat di samping kekasihku yang lebih dulu menjatuhkan duduknya. Seperti biasa, kekuatan senja yang romantis bagai menghipnotis dua fikiran kami. Duduk saling bersandar. Saling menggenggam erat. Dan satu lenganku memeluk lembut pinggang rampingnya. Menikmati senja hingga tersapu habis oleh malam, menjadi saat yang paling diam setiap bersama kekasihku. Dalam diam, kami menikmati tiap riak cinta yang terasa semakin tak terkendali.

"Ya Tuhan. Maafkan cinta kami. Maafkan kami mabuk oleh kasmaran yang kutahu salah di mataMu. Maafkan aku dan kekasihku. Maafkan kebutaan kami. Yang buta oleh candu cinta. Maafkan kami." batinku.

***

BUKAN PEREMPUAN PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang