Bab 8

626 36 0
                                    

Indah?
Karena semua hal akan berawal indah. Selalu begitu. Terlalu indah bahkan. Saking indahnya, tak sedikit yang terjebak. Terpasung, bahkan menjadi manusia yang sulit bangkit dari keterpurukan.

Tahun ke delapan berjalan. Bukan hal mudah, menghabiskan tak sedikit waktu dengan orang yang sama. Tak pula sesederhana kembang yang berpucuk, mekar, lalu gugur dan berpucuk lagi. Fase yang sulit bahkan kadang menghadirkan rasa jenuh.

Jenuh ?
Aneh rasanya jika kata itu menjadi alasan renggannya satu hubungan yang cukup lama berjalan. Bukankah sudah cukup saling memahami. Bukankah cukup banyak cara demi mencairkan suasan jenuh yang tiba-tiba muncul. Toh, 8 tahun bukanlah angka yang sedikit. Di dalamnya tercatat waktu 96 bulan, 384 minggu, 69.120 jam, 4.147.200 detik. Wow, gak sih ? (Agak ragu aku ama hitungan sendiri. Tolong dibantu yak kalau keliru...prok prok prok).

Memasuki tahun ke delapan, aku merasa mulai ada yang berubah. Yah, Jea. Perempuan lembut yang berhasil membuatku jatuh cinta setiap hari itu, kurasakan berubah. Bukan sebatas perasaan. Sikapnya, tatapannya, sentuhannya, bahkan kecupannya. Tak sehangat lalu 😒. (Ada yang tau kenapa? Gak usah dijawab. Nti kita kuliti sama-sama 🤣).

Tak hanya soal kehangatan. Perempuanku, pun kerap ngomel tanpa sebab. Ada saja yang dijadikannya alasan buat marah. Padahal setauku, perempuan tempramennya sampai ketinggian 8.999 Mdpl itu, pas lagi PMS aja 😏.

Lah si Jea ? Saban ketemu, mesti ngomel. Lama kelamaan aku curiga. Itu anak, tidurpun ngomel 😒. Entahlah.

Pernah satu kali, aku bertanya. Itupu karena otak sudah dikuasai rasa penasaran.

"Gak capek, sayang? Marah mulu?" Tanyaku sedikit berbisik.

Dalam kondisi sadar, taulah aku bakal panjang siaran radio tanpa frekuensi hari itu.

"Kenapa. Capek denger aku ngomel?"

Kan. Bener kan.

Kutarik nafas panjang.

"Gak kok. Kamu ngomel malah serasa di Nina Bobok saya," balasku seenaknya.

Jea menoleh. Tak ketinggalan matanya melotot. Lama-lama loncat juga tuh bola mata.

"Bobo sana! Biar kupingmu aman," katanya ketus.

Tanpa membalas tatapannya, aku menunduk.

"Kalau aku bobo di sini. Ntar ditinggal. Trus kalau ada yang nemu, diculik, bawa pulang ke rumahnya. Ntar kamu sedih," kataku sekenanya.

"Gak. Aku gak sedih. Sana, suruh orang culik kamu,"

Kali ini, ucapan Jea kuanggap bukan guyonan.

Kutarik senyum sedikit, meski agak berat.

"Kalau kamu serius dengan kata-katamu itu. Nrimo aku. Tapi alangkah baiknya, kalau kamu cerita. Biar aku tau. Biar ndak prasangka. Kamu ada masalah apa. Bilang lah amaku," kataku pelan.

Sesaat sunyi.

Terdengar Jea menarik nafas panjang.

"Aku capek," katanya lirih.

"Aku bener-bener letih," katanya lagi.

"Aku sepertinya ingin keluar dari semuanya,"

What...what? Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari bibir perempuan kesayanganku itu

Kubenahi dudukku.

"Maksud kamu, ini tentang kita ?"

Tak ada jawaban. 

Kugeser duduk agar lebih dekat dengannya.

"Kamu bicara tentang kita, sayang?" tanyaku. Suara tiba-tiba parau.

Jea menghela nafas. Menoleh ke arahku. Dan lalu tertunduk.

"Aku capek, sayang. Rasanya letih sekali," katanya.

Aku menyimak.

"Aku merasa..." ucapannya terhenti.

"Apa?" desakku.

"Apa yang kamu rasa?" tanyaku.

Tak ada jawaban. Jea memilih bertahan dengan diamnya, hingga akhirnya kami beranjak meninggalkan cafe milik Mas Budi. Cafe yang begitu banyak memberi kami ruang. Ruang saling berbagi cerita, menikmati waktu senggang, menghabiskan hingga tiga cangkir kopi. Ruang cinta, yang berhasil menjadi saksi, betapa waktu yang kami miliki selama ini adalah indah.

Yaps. Selama menjalin cinta dengan Jea, baru kali ini perempuanku itu menyisahkan tanya yang tak terjawab. Baru kali ini, perempuanku itu menyemat rasa penasaran di hati. Baru kali ini, Jea membuat hatiku gelisah . Hati yang sejak pertama hingga memasuki tahun ke delapan bersamanya, tak pernah berubah. Bahkan pada tiap sudutnya. Tatap seperti dulu. Yang hanya dipenuhi Jea, Jea dan Jea.

Ada perasaan sedih. Sedih ketika tahu, kekasihku tengah mengeluh capek. Merasa letih. Meski tak tahu letih dan capeknya karena apa. Sejak bersama, kekasihku itu nyaris tak pernah mengeluh. Dia perempuan yang kuat, aku tahu itu.

Selama perjalanan pulang, hanya diam yang memenuhi sisa waktu. Nafas kami bahkan seakan ikut bungkam. Kosong.

Hingga aku turun dari mobil kesayangannya pun, tetap tak ada kata yang terucap. Tak ada ucapan "Sampai jumpa sayang" atau "Makasih yah, udah temenin" atau "Ntar malam jalang lupa kelonin" atau "Love you sayangku" dan atau atau lainnya.

Dia berlalu begitu saja. Bahkan tanpa menatapku sedikitpun.

Ada apa denganmu sayangku? batinku.

Coba aku flashback. Mengingat-ngingat, mana tahu ada sesuatu yang telah aku perbuat tanpa aku sadari yang telah menyakitinya. Memutar otak. Memaksanya mengingat apapun bahkan yang paling terkecil sekalipun.

Gagal! Tetap saja tak kutemukan jawaban. Rasanya tak ada yang salah telah kuperbuat. Aku bahkan sama sekali tak pernah ada niat menyakiti perempuanku itu. Aku terlalu menjaga perasaanya. Menjaga cintanya. Menjaga hatinya. Menjaga apapun agar dia tetap merasa nyaman bersamaku. Karena aku begitu mencintainya.


***


BUKAN PEREMPUAN PILIHANWhere stories live. Discover now