Traffic Light [1]

1.8K 205 48
                                    

Emansipasi para kaum LGBT.

Daniel mendengus, cukup keras untuk membuat wanita disampingnya menoleh. Pemuda itu acuh, kembali memperhatikan seorang pria berkulit hitam yang masih asik membagikan selebaran di seberang jalan sana. Dikepala pria itu terikat sebuah headban bermotif pelangi.

Suara lembut dari Taylor Swift saat mendendangkan Wildest Dream lewat headphone menyumbat sebagian besar kemampuan mendengarnya. Satu-satunya hal yang membuat Daniel sedikit rileks meskipun tubuhnya terasa kaku.

Tiga menit lagi.

Masih butuh tiga menit untuk menunggu bus yang akan membawanya pulang. Jika saja uang sakunya tidak habis dia belikan litelatur, Daniel pasti rela menyetop sebuah taksi daripada harus menunggu seperti ini.

"Hey! Watch your move!"

"Go die you piece of shit! Gay isnt approved here!" Meski samar, Daniel menoleh lagi ketika menangkap teriakan-teriakan anarkis. Diseberang sana, dapat dia lihat jelas ketika seorang pria bersurai merah meludahi pria berkulit hitam yang tadinya menyebarkan selebaran sambil tersenyum lebar.

Ekspresi tersinggung di wajah pria itu menyulut sesuatu dalam batin Daniel. Hendak mendekat ketika mendadak suara klakson yang familiar terdengar, Daniel menilik kesamping. Melihat sebuah bus kuning tengah melaju mendekat lantas berhenti tepat didepannya. Menghalangi pandangan tentang si pria berkulit hitam yang kembali berteriak-teriak di seberang sana.

Entahlah, Daniel menghela nafas pelan. Bangkit dari duduknya lantas masuk kedalam bus diikuti wanita yang sedari tadi menemaninya menunggu di halte. Untuk sekarang, Daniel tidak ingin memikirkan apapun selain kehangatan kasurnya.

Daniel mengedarkan pandangannya, mencari tempat kosong selagi pintu bus mulai menutup. Kemudian berjalan terseok menuju salah satu set kursi yang satu sisinya masih kosong. Sedikit terkejut, Daniel menyempatkan untuk tersenyum kala mendapati sosok asian yang ternyata duduk lebih dulu disana.

"Excuse me" katanya, sopan. Mendudukkan diri di sisi pria Asia yang balas memandangnya sambil tersenyum, mengangguk pelan. Daniel menyandarkan punggungnya (yang dihalangi tas ransel) lalu melirik ke teman sebangkunya yang nampak asik menatap keluar jendela.

Mendadak bayangan tentang pejuang LGBT didepan kampusnya terulang di benak. Daniel mengernyit sebentar, lantas menggeleng pelan. Dia merasa heran karena tidak menemukan relasi antara kaum LGBT dengan pria Asiaehemtampan yang duduk disampingnya.

'Terserah' batinnya berteriak.

Butuh waktu sekitar lima belas menit, bus yang dia tumpangi berhenti di halte dekat kompleks perumahan elit masih di kawasan Cambridge. Daniel beranjak dari duduknya lantas berlalu keluar dari bus sesaat setelah pintu bus terbuka.

Udara senja yang sedikit dingin menyambut Daniel ketika dia turun dari bus, pemuda itu memasang kembali headphone yang sempat dia lepas saat masuk bus tadi. Lantas menyalakan MP3 yang dia kantongi di saku hoodie putihnya.

Kali ini, suara melengking Shawn Mendes dengan Imagination-nya yang mengiringi langkah Daniel memasuki kompleks perumahan Elit tempatnya tinggal.

Pemuda itu melewatkan satu hal.

"Im home!" sembari melepas sepatu putihnya, Daniel berteriak. Terdengar suara piring beradu dengan sendok sebelum suara dalam menyahut dari arah ruang makan.

"Daniel, welcome home. Aku di dapur!"

Daniel hanya menggelengkan kepala, membiarkan headphone nya tersangkut di leher lantas berjalan menuju ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Senyumnya merekah saat melihat seorang pemuda asia lain yang tengah duduk di meja makan, sepiring lasagna (yang sisa separuh) tergeletak di depannya dengan saos tomat yang melimpah. Sementara empunya fokus dengan laptop yang disandingkan dengan piringnya.

Selection ; OngnielWhere stories live. Discover now