Keping 2 - DONGENG

26 0 0
                                    

Mengukir cinta,

Mencumbui eloknya di setiap hela.

Pintu jendela yang sama esok lusa,

Masih renyahkah dongeng istana kita?


"Yangkung, gimana Adel?"

Tergesa Yudhis membuka pintu kamar. Dirabanya dahi putri tengahnya.

Lelaki paruh baya itu menoleh. Jemarinya menyentuh tombol remote AC, sedikit menghangatkan suhu ruangan.

"Nggak pa pa, mau nambah pinter aja nih cucu Yangkung," jawab Pak Sungkono sambil tersenyum.

Yudhis membetulkan letak selimut Adel yang tampak terlelap.

"Tadi Nak Dea tuh yang repot keluar beliin obat turun panas. Habis, nyari-nyari di rumah ndak nemu. Kata Adis yang nyimpen Mamah, yang lain pada ndak tahu," Pak Sungkono menjelaskan.

Kalimat terakhir itu menyentak Yudhis seketika.

Lihat Reta, adamu seperti candu.

"Thanks ya De. Ngerepotin kamu terus," kata Yudhis setengah berbisik.

Dea sahabat Reta sejak lama. Tak hanya satu kampus, satu jurusan, namun juga satu kos-kosan sekitar dua tahunan.

"Sama-sama, Mas. Nggak repot kok, malah seneng bisa nemenin anak-anak."

Sunyi beberapa saat. Hanya terdengar suara Pak Sungkono yang sesekali batuk.

Mata Yudhis tak lepas memandang pigura pink berhias gambar Hello Kitty di atas meja belajar Adel. Di tengahnya foto mereka berempat saat berlibur ke Bali. Sebelum bayi mungil itu lahir. Saat Reta masih ada.

"Pah,"

"Adek, sudah bangun sayang?"

"Adel dari tadi nggak bisa bobok, Pah. Cuma merem aja nunggu Papah naik," kata Adel.

"Ya ampun... tahu gitu tadi Adel Yangkung kelonin, terus Yangkung kelitikin. Tuh Tante Dea udah bisik-bisik dari tadi, ternyata Adelnya pura-pura tidur," kata Pak Sungkono sambil terkekeh.

"Iya, nih , Adel. Pinter bener aktingnya," Dea menimpali.

Adel nyengir. Wajahnya masih pucat.

"Adek, masih pusing?"

Adel menggeleng pelan.

"Papah kok masih panggil aku adek mulu, sih? Aku kan udah jadi mbak," protes Adel. Bibirnya mengerucut.

"Yee... Mbak kan aku. Nanti gimana bedainnya sama aku? Masa mbak semua." Adis yang sedari tadi diam saja mulai bersuara.

"Aha! Yangkung punya ide. Mbak Adis kan sudah duluan dipanggil Mbak. Adik Aksel dipanggil Adek. Nah, Adel nih enaknya dipanggil..."

"Dipanggil Kakak aja Yangkung," potong Adel. Mata bulatnya bersinar.

"Tos! Yangkung juga mau bilang gitu. Ka-kak A-del, Pas di telinga."

Adel tersenyum senang.

"Ka-kak A-del udah makan?" Yudhis sengaja mengeja dua kata pertama dengan sejelas-jelasnya.

"Udah Pah. Iya kan, Tante?" tanya Adel seolah meminta dukungan.

"Sudah Mas. Tadi sebelum minum obat Adel mau kusuapin pakai..." Kalimat Dea tiba-tiba menggantung.

"Kenapa De?"

"Sori, Mas, pakai bubur instan. Tadi aku beli di minimarket,"

Tanpa penjelasan panjang lebar pun Yudhis sudah sangat maklum mendengar permintaan maaf Dea.

"Apaan sih Mas, kayak nggak pernah dimasakin aja,"

Lima bungkus mie instan yang sudah tertumpuk rapi di keranjang belanja, kembali dipindahkan ke rak semula.

"Satu aja, deh."

"Nggak!"

"Yaelah... masa satu doang nggak boleh,"

"NO! Kecuali kalau aku udah nggak bisa masakin Mas sama anak-anak. Sehat itu ya kita sendiri yang usahain. Anak-anak aja pada pinter makan buah sama sayur, kok Papahnya malah ngajakin cari penyakit," protes Reta.

"Iya deh Nyonya...bawel," Yudhis merendahkan suara di ujung kalimatnya.

"Ih, Mas nih kalau dibilangin,"

Reta merengut. Yudhis tertawa. Di mata Yudhis, keranjang belanjaan sore itu sudah pantas mendapat predikat belanja empat sehat lima sempurna berstempel makanan halalan thoyibban.

"Dhis, ini Nak Dea pamit, lho," Suara Pak Sungkono mengagetkan.

"Balik dulu ya, Mas. Udah dijemput Bas di bawah,"

"Om Bas yang pacar barunya Tante Dea?" cecar Adel.

"Kakak, ih. Tuh Tante Dea kan jadi malu,"

"Mau lihat dong Om Bas kayak apa," pinta Adel. Badannya berusaha bangkit.

"Kakak Adel istirahat dulu. Kan besok-besok masih bisa ketemu,"

"Iya, di sini aja dulu sama Papah. Thanks ya De, salam buat Bas," kata Yudhis.

"Iya, Mas,"

"Yuk Mbak Adis, kita anter Tante Dea turun," ajak Pak Sungkono.

"Fotoin Om Bas dong Mbak," teriak Adel saat pintu hampir penuh tertutup.

"Ih Adel, kecil-kecil kemal!" balas Adis.

"Kemal apa Mbak?" tanya Pak Sungkono.

"Kepo maksimal, Yangkung,"

'Kepo? Apa itu?"

Percakapan masih berlanjut. Menyisakan senyum di bibir Yudhis.

Tuhan Maha Baik. Bahkan di balik duka pun masih terselip setitik canda.

Yudhis menyibak gorden, melihat dari balik kaca. Mobil Bas dan Adel melaju perlahan. Gerimis di luar berteman angin malam, pengantar nyaman ke peraduan.

"Bobok yuk. Kakak Adel harus istirahat biar cepet sehat. Kalau sakit, nggak boleh dekat-dekat Adek Aksel lho," Yudhis sedikit kesulitan membiasakan lidahnya memanggil julukan baru untuk Adel.

"Pah,"

"Ya, sayang,"

"Biasanya Mamah dongengin aku sebelum bobok,"

Suara Adel pelan, tapi terdengar sangat jelas di telinga Yudhis.

"Kakak mau Papah bacain buku cerita?"

"Buku itu kata Mamah buat dibaca sendiri. Kalau sama Mamah didongengin. Nggak pakai buku. Papah bisa?"

Yudhis terdiam. Memegang tangan putrinya yang masih hangat. Mata Adel yang sayu, memandangnya penuh harap.

Duh, Reta... Mencoba mengikuti caramu terkadang tak selalu mudah.


PAUSE "Dua Puluh Detik Kita"Where stories live. Discover now