1. Sabiya

189 7 0
                                    

Happy reading!

"Sabiya, bangun, Nak! Sudah subuh ini." Terdengar suara Ibu dari luar sambil mengetuk pintu kamarku.

Ibu tidak akan berhenti mengetuk sampai aku bangun lalu membuka pintu kamar dan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim.

"Iya ini Biya udah bangun, Bu." Kataku sambil menahan kantuk lalu beranjak dari kasurku yang tingkat kenyamanannya meningkat berkali-lipat saat pagi hari.

"Kamu harus pasang berapa alarm si Biya biar enggak perlu Ibu bangunin setiap pagi?" Kata Ibu saat melihatku sudah keluar kamar.

Sebenarnya aku juga heran. Walau sudah memasang lebih dari satu alarm tetap saja aku tidak akan bangun. Tapi hanya dengan Ibu atau Ayah mengetuk pintu kamarku, aku bisa langsung terbangun.

"Ibu sama Ayah itu alarm terbaik aku." Jawabku sambil terkekeh lalu berjalan menuju kamar mandi.

Selesai menunaikan kewajibanku, aku langsung bersiap untuk pergi bekerja. Aku adalah seorang guru di taman kanak-kanak. Baru dua bulan aku menjalani pekerjaanku ini. Karena aku sendiri memang baru saja lulus dari sebuah perguruan tinggi.

"Sarapan dulu, Nak!" Kata Ibu saat melihat aku yang sudah rapi keluar dari kamarku. Aku langsung menghampiri Ibu yang sedang menemani Ayah sarapan.

Setiap pagi kami tidak pernah melewati kebiasaan ini. Walaupun saat Ayah harus pergi dinas ke luar kota, Ibu akan tetap menemaniku sarapan. Iya, Ibu hanya menemani sarapan, karena Ibu tidak terbiasa makan pagi hari. Ibu akan makan bila sudah di atas jam 8 pagi. Jangan tanyakan mengapa, karena aku tidak tau jawabannya.

"Kamu udah enggak pernah ke kampus lagi akhir-akhir ini ayah lihat?" Tanya Ayah memulai percakapan sambil menghabiskan sarapannya.

"Iya, aku kan udah tinggal nunggu undangan wisuda aja. Paling kalau ke kampus ketemu Nadia atau Haikal. Mereka berdua belum sidang." Jelasku pada Ayah.

Memang walaupun aku tidak terlalu pintar tapi aku bersyukur bisa menyelesaikan kuliahku lebih cepat dibanding teman-temanku yang lain.

"Terus apa rencana kamu selanjutnya?" Tanya Ayah lagi.

"Kerja. Aku mau banyakin pengalaman dulu." Jawabku jujur. Karna walau aku sekarang sudah bekerja sesuai dengan jurusan yang aku ambil saat kuliah, pendidikan guru taman kanak-kanak, aku masih belum yakin dengan keinginanku yang sebenarnya. Aku kadang tidak sabar menghadapi kelakuan murid-muridku. Mungkin Aku memang belum terbiasa menghadapi anak-anak karna aku memang anak tunggal.

"Kamu belum ada rencana menikah?" Tanya Ibu membuatku mengernyitkan keningku.

"Aku baru 22 tahun kalau Ibu lupa. Rencana nikahku masih minimal 3 tahun lagi lah. Lagipula aku enggak punya pacar sekarang." Jelasku santai karena memang rencana itu masih jauh dari list hidupku.

"Emang kamu pernah punya pacar?" Tanya Ibu meledekku.

"Aku bukannya enggak punya pacar karna enggak laku. Tapi karna aku enggak minat. Buat apa pacaran kalau enggak di nikahin? Buang-buang waktu aja." Jelasku.

Aku bukan anti pacaran, tapi aku malas saja harus menjalin hubungan lebih dari teman dengan laki-laki. Aku tidak menemukan untungnya berpacaran. Kalau hanya untuk bersenang-senang aku memiliki sahabat-sahabatku yang setia menemaniku. Kalau untuk menjadi penyemangat, Coba pikirkan lagi! Saat memiliki pacar banyak dari temanku yang malah suka galau, mulai karna sang pacar tidak memberi kabar sampai bertengkar karna berbeda pendapat misalnya. Akibatnya mereka lebih sulit berkonsentrasi di dalam kelas. Lalu nilai mereka akan turun.

Lagipula berpacaran hanya akan membuat dosaku semakin banyak saja. Walaupun aku bukan seorang muslim yang sangat taat tapi setidaknya dengan tidak berpacaran aku mengurangi sedikit dosaku.

DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang