Red Box and Letter

67 5 9
                                    

Red Box hanya bisa pasrah saat beberapa orang yang memakai jaket berwarna kulit jeruk menghampirinya. Mereka--orang-orang yang memiliki tubuh tinggi bahkan ada yang tambun--berbincang sedikit, sebelum memutuskan untuk menyeberang dan mungkin memesan beberapa cangkir kopi dari warung, tepat di seberang tempatnya berpijak selama ini.

Red Box sedikit lega. Paling tidak, untuk beberapa saat dia bisa bernostalgia dengan masa lalu. Dia masih ingat, saat orang-orang di sekitarnya sering datang. Memasukkan beberapa lembar surat ke dalam dirinya. Gemuruh sering tercipta setiap hari dalam ruangan perseginya. Bising, saat beberapa dari yang dimasukkan orang-orang itu saling menyahut. Entah sekedar bertukar informasi tentang tempat tujuan, memamerkan nominal yang ditempel pada selembar kotak kecil di sudut kanan mereka, atau bahkan membeberkan isi yang tercantum dalam tubuh mereka. Dan dia--Red Box--sama sekali tidak merasa terusik.

Red Box juga selalu menanti seseorang dengan seragam dan jaket seperti orang-orang di seberangnya untuk membersihkan seluruh sisi bagiannya. Memoles kembali cat berwarna merah serta memeriksa apakah ada yang harus diperbaiki. Peremajaan yang begitu memanjakan seluruh sisi bagiannya.

Red Box pun senang kala senja tiba. Di bagian belakang warung kopi itu dulu adalah lapangan luas. Beberapa anak yang tinggal di sekitarnya sering menghabiskan waktu sore hari dengan bermain bola atau menerbangkan layangan. Kini, lahan kosong itu sudah dibangun bangunan bertingkat empat. Entah di mana sekarang anak-anak menikmati sore hari mereka.

Semua sudah berubah. Red Box tidak perlu memiliki otak untuk menyadari semua yang mengikuti arus zaman. Dia sadar, eksistensinya lambat laun menurun, lalu menghilang seperti yang akan terjadi sebentar lagi.

Satu harapan sempat Red Box lontarkan pada alam, saat di mana dia merasa begitu kesepian dan tersiksa. Dia menginginkan teman seperti dulu. Walau dulu tidak pernah ikut bergaung dan hanya berkata saat sang Penjemput datang untuk membawa teman-temannya, tetapi dia rindu hal itu. Dan seolah alam mendengar harapannya, itu terkabul tak lama setelah dia menggemakan keinginan terakhir. Untuk ditemani walau hanya dengan selembar teman.

Red Box menyesal. Harapannya yang lain adalah jika ada teman yang masuk ruangannya, maka sang Penjemput akan kembali datang. Namun, kali ini alam hanya memantulkan asanya. Dia merasa sangat bersalah pada teman kecilnya itu.

"Tuan Red Box, apakah orang yang menjemputku sudah datang?" Si Kecil kembali bertanya dari dalam bagian Red Box.

"Kalau sudah datang akan aku beri tahu."

"Tuan Red Box, kapan Sang Penjemput akan datang?" tanya Si Kecil lagi.

Red Box tidak lantas menjawab. Dia memang tidak mengenal hari atau angka dalam kalender. Namun, merasakan matahari terbit dan terbenam sebanyak yang menerpa bagian luar sisinya, dia tahu bahwa ini sudah lama. Teman kecilnya itu tak mungkin dijemput.

"Tuan Red Box ... bagaimana ... bagaimana kalau aku tidak dijemput?"

Red Box tidak tahu cara menghibur dan dia tidak tega mengutarakan yang sebenarnya.

"Apa kau keberatan jika aku menyampaikan pesan Tuanku, Tuan Red Box?"

"Lakukanlah, jika itu keinginanmu."

Si Kecil bertutur tentang misinya untuk menyampaikan pesan pada seorang anak yang sudah lama merantau di seberang pulau. Ayah anak itu sakit dan tidak ada yang bisa membantunya. Utang si ayah sudah menumpuk. Tidur pun hanya pada selembar tikar di saung Pos Ronda. Menulis keadaan ini pun, si ayah meminta tolong pada si penjaga warung. Mengutang sebuah buku, amplop, dan perangko. Si ayah juga menuliskan nomor telepon yang bisa dihubungi. Nomor telepon milik tetangga si ayah. Si ayah pun meminta maaf karena telah memarahi si anak dan mengusir untuk pulang ke kampung halaman si mantan istri.

"Apa angin bisa memberitahu anak Tuanku, Tuan Red Box?"

"Ya. Semoga."

"Kautahu Tuan Red Box, ada lobang kecil di kedua sudut belakang ruanganmu. Ada beberapa bagian yang berkarat juga. Setiap hujan aku merasa seperti melayang saat angin kencang berembus masuk. Apa kau baik-baik saja?"

"Ya."

"Syukurlah. Kuharap kau selalu dalam keadaan baik dan semoga Sang Penjemput datang, dan memperbaiki bagian-bagianmu yang rusak. Tuan Red Box, terima kasih sudah memberiku perlindungan selama ini."

Itu adalah dialog terpanjang yang memantul di bagian dalam Red Box. Setelahnya, kembali hening yang menemani. Si Kecil tidak lagi bertanya. Dan Red Box paham bahwa si Kecil sudah meninggalkannya.

Red Box ingin meminta maaf pada teman kecilnya. Karena permintaannya yang egois, teman kecilnya itu harus tersiksa. Jadi, sekali lagi, dia mengumandangkan keinginannya pada alam. Bukan untuk mengingat detail setiap kejadian yang sudah dia lalui dari mulai ketenaran hingga kemerosotan seperti sekarang. Namun, untuk membantu teman kecilnya menjalankan misi yang tidak sengaja terbengkalai. Semoga alam berkenan mengabulkannya.



Dua orang pria mengangkat hati-hati atap kotak Pos yang sudah memudar warna catnya dan terdapat beberapa bagian yang berkarat. Salah seorang di antaranya mengernyit dan ketika meletakkan atap Pos itu di tanah, tangannya terulur ke bagian dalam kotak Pos. Secarik kertas yang sudah lusuh dan menguning, serta di bagian ujung sudah disantap rayap, dia angkat.

"Masih ada yang mengirim surat," ujarnya.

"Udah lama, kayaknya," timpal seseorang yang juga mengangkat atap Pos tadi.

"Bagaimana, nih. Ada perangkonya."

"Kirim aja," usul salah satu yang lain. "Kita masukkan di amplop yang baru, tulisan alamat tujuannya dan asalnya lagi, tempel perangko, beres." Dia mengambil alih sepucuk surat itu dan kedua rekannya mengangguk setuju.

"Tuan Red Box, terima kasih."

Batas SenjaWhere stories live. Discover now