Rasa Serupa Senja

12 1 0
                                    

Jika dihitung secara kasar, dia hanya dua langkah pendek di depanku. Namun, itu cukup untuk membungkam jeritan bocah yang berjarak dua bangku dari tempat kami berdiri serta celoteh orang-orang di sekitar. Mendadak hening dan telingaku berdenging. Entah dia juga merasakan waktu—seperti—mendadak berhenti atau malah menganggap ini adalah pertemuan biasa, bukan hal yang patut membuat tercengang setelah satu dekade. Bahkan pertemuan kami setelah dua minggu libur sekolah jauh lebih heboh. Mungkin karena kami sudah tumbuh, dia jadi malu untuk melakukan tarian gurita.


Aku tetap tidak menyangka dia berubah drastis.  Dulu, dia hanya bocah yang tidak lebih tinggi dari daguku. Selalu memakai kupluk bergaris hitam-putih. Penakut, meski rajin berdoa. Aku masih menyimpan foto yang dijepret ayahku, ketika kami pertama kali latihan sepak bola. Berbeda dengan teman-teman kami yang antusias, dia berdiri di kotak penalti dengan tangan yang mengatup di depan bibir dan mata tertutup. Dia terus berdiri seperti itu sampai pelatih menegurnya. Bukannya menurut, dia malah berargumentasi tentang bahaya terjungkal akibat ancang-ancang menendang bola. Dia baru mau berhenti mengoceh setelah aku iming-imingi puding cokelat buatan ibu. Entah, kalau aku menunjukkan foto disertai kisah itu dia menyangkal atau tidak. Termasuk dia yang sering berakhir menangis ketika kami perang bantal, dia lupa pun aku tidak masalah.


Aku pikir, kami akan menghabiskan masa SMP, SMA, dan mengenyam bangku kuliah di universitas yang sama. Namun, lulus SD dia memilih tinggal bersama ibunya di Amerika. Kami sepakat untuk bertukar kabar tanpa foto. Awalnya, kami memilih surat, tapi akhirnya bergeser menggunakan jasa internet. Meski begitu, tidak pernah sekalipun aku mencari namanya di semua sosial media yang aku tahu, dan aku yakin dia juga begitu. Kami hanya mengandalkan e-mail. Sampai setahun lalu, janji itu masih terjaga.


Dia mengangkat tangan kanannya; menggaruk telinga, sedang yang kiri dimasukkan ke saku. Pergerakan pertamanya setelah sekian detik. Namun, bibir tipisnya masih terkatup, hanya menampilkan senyum yang aku rindu. Kecanggungan merayap di sekitar kami. Padahal, dia selalu blak-blakan di e-mail.


Selama sembilan tahun seperti sepasang anonim saling bertegur sapa di dunia maya, aku tahu semua rahasianya dan dia menyangka tahu semua rahasiaku. Aku sering membayangkan, bagaimana kalau aku ungkapkan semua? Saat ini. Tentang alasan utamaku menerima undangannya ke Amerika. Juga soal rambut berombakku yang sudah dicat cokelat tua dan kubiarkan tergerai hingga menutupi bagian punggung, serupa gadis yang terpajang di foto profilnya.


“Bagaimana penerbangannya?” Lama meninggalkan Indonesia, fasihnya menurun jauh. Itu membuat paru-paruku serasa diremas. Dia sudah berbeda. Bahkan kulitnya tidak seputih ketika dia berusaha menolak menendang bola. Memakai pantofel berhak pun, tinggiku tidak bisa menyentuh batang hidungnya. Dan rambutnya bukan lagi cepak, meski tetap berwarna jagung.


Semua sudah berubah.


Mendadak aku ingin pulang; kembali bersembunyi dari perasaan bertahun-tahun yang dipendam. Di balik kaca besar, di sisiku, ada dua pesawat terparkir. Apa aku harus terbang balik?


“Jes?”


Genggaman tanganku di koper menguat.


“Apa kabar?” Sambil tersenyum dia mengulurkan tangan kanan. Tanpa menunggu responsku, dia merangkul. Sengatan yang dihasilkan menarikku kembali pada detik jam yang bergerak. Bocah dua bangku dari kami masih menjerit. Suara-suara yang lain menyusul memenuhi telingaku.


“Apa kamu pusing?” Tapi, tangan kirinya turut memperagakan orang muntah.


Aku melihat itu. Cincin yang melingkar di jari manisnya. Seharusnya, aku tetap berada di rumah. Hanya sebatas mengirim pesan lewat satelit. Itu cukup. Bodoh, memang. Apa yang bisa diharapkan sekarang?


Selepas aku menggeleng dan tersenyum semakin lebar, masih merangkul, dia mulai berbicara mengenai kabar ibunya. Kami berjalan beriringan keluar bandara dengan ceritanya yang mulai merambah ke pesta sederhana seminggu lagi. Serupa awan merah di langit sore ini yang menghilang, aku sadar sudah waktunya aku berhenti jatuh cinta. Berhenti berharap dia tahu perasaanku.














Batas SenjaWhere stories live. Discover now