Pergi

33 3 9
                                    

Tidak ada yang berubah. Walaupun sorot mata itu masih memancarkan persahabatan, tetapi luka yang terpendam tetap terlihat; menyatu dalam kedua bola mata yang berair dan tampak merah.



Kau masih berdiri di sana, di ambang pintu, enggan mendekati raga yang tak lagi utuh yang terpaku di halaman rumah.

"Al ...."

Lirih suara itu membuat punggungmu semakin tegap dan cengkeraman pada kusen pintu semakin kuat. Seolah terhipnotis, saat dia yang berdiri di halaman merentangkan tangan dan menyunggingkan senyum, kau mulai menapaki lantai teras. Terasa dingin dan basah di telapak kaki akibat hujan siang tadi.

Sorot matahari yang menyembul malu dari balik awan mendung di sisi barat, menemani langkahmu menghampirinya. Dia, sosok yang kaurindu lebih dari siapa pun. Dia, orang yang kautahu mengerti dirimu lebih dari siapa pun. Dia, pria berpikiran dewasa yang selalu menawarkan kenyamanan lebih dari siapa pun. Dan dia, si pembuat janji yang meninggalkan luka mendalam untukmu.

Napasmu tercekat, ketika telapak tangannya menangkup salah satu sisi pipimu. Terasa lebih dingin dari semilir angin yang menggoyangkan sedikit rambut sebahumu. Kautahu bahwa kata-kata tidak lagi berguna. Jadi, kau biarkan saja otakmu yang bekerja memahat wajah piasnya di ingatan.

Belaian di pipimu semakin terasa. Membuatmu terlena hingga memejamkan mata. Larut dalam semua rasa yang tercipta, kau tidak ingin ini berakhir. Walaupun hanya sebatas ini. Sebatas rasa belaian di pipi.

"Alma!"

Kau tersentak dan menoleh ke arah pintu rumah. Sosok ibumu dalam balutan daster menatapmu dari ambang pintu. Dan kau menangkap sirat kekhawatiran dalam sorot mata beliau.

"Ayo masuk, mau hujan lagi."

"Iya."

Kau menyempatkan diri untuk kembali menghadapnya. Ke dia yang kau rindu. Namun, tak ada siapa pun di hadapanmu. Seketika kau merasa setitik air menusuk kulitmu dan menyedot semua kesadaranmu.

Batas Senjaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें