Chapter 15 _ Behind The Story

3.8K 420 31
                                    

Italic = flashback

Vomment Juseyo!!

.

.

Pagi yang monoton itu masih Yerim jalani. Ketika membuka mata di pagi hari, yang ia lihat tetap potret kedua orang tuanya yang ia letakkan di atas nakas. Tidak ada senyum atau semangat untuk menjalani hari. Bangun di jam yang sama setiap harinya, gadis remaja itu melakukan rutinitas yang sama. Bangun – menatap sendu figura keluarga bahagianya dulu, selama lima belas menit – bersiap diri – dan pergi kesekolah tanpa menyapa penghuni rumah lainnya.

Hari ini pun sama. Yerim hanya melewati ruang makan yang ramai oleh 'keluarganya' yang lain. Tidak menoleh sedikitpun, dan hanya berjalan lurus dengan wajah datar. Tidak perduli cibiran bahkan umpatan yang di tujukan untuknya karena di anggap tidak sopan. Tujuh tahun tinggal di rumah itu, Yerim sudah cukup kebal dengan ucapan ataupun perlakuan kasar dan tidak menyenangkan.

" Kau terlambat lima menit " Itu suara Jihoon yang telah menunggunya di depan rumah.

Yerim tersenyum. Itu adalah senyum pertamanya hari ini, dan selalu menjadi milik orang yang sama setiap harinya – Jihoon. Lelaki tampan yang juga imut itu selalu menjadi orang pertama yang Yerim cari di segala situasi. Karena tidak perduli seluruh dunia menentang, lelaki itu akan selalu ada untuknya.

" Aku kehilangan salah satu buku-ku "

" Lagi? " Yerim hanya mengedikkan bahu mendengar pertanyaan Jihoon. " Naiklah! Pulang sekolah nanti, kita ke toko buku "

Menurut, Yerim menaiki pijakan sepeda yang Jihoon kendarai. Memposisikan tangannya di kedua pundak lelaki itu sebagai pegangan. Hari masih cukup pagi, mereka tidak perlu terburu-buru untuk sampai ke sekolah.

" Apa lukamu baik-baik saja? " Tanya Jihoon di sela kayuhannya pada pedal sepeda.

" Tidak terasa sakit lagi, hanya tinggal memarnya saja " Jawab Yerim yang tidak sepenuhnya benar. Kenyataannya, luka di punggungnya masih terasa nyeri. Tapi untuk membuat Jihoon tidak khawatir, ia harus berbohong.

" Maaf tidak bisa membantu kemarin " Ujar lelaki itu penuh sesal.

" Justru aku lega kau tidak ikut terlibat. Sudah cukup kau mendapat kesulitan karena aku "

" Aku janji, saat dewasa nanti aku akan lebih kuat untuk bisa melindungimu " Ucapan tegas itu keluar dari mulut remaja lelaki. Siapapun yang mendengar hanya akan menganggap itu janji kosong yang di ucapkan sebagai penghibur, tapi bagi Yerim itu suatu yang berharga.

Yerim tersenyum di belakng tubuh, Jihoon. Kedua tangannya tak lagi sekedar berpegang, karena kini lengan itu telah merangkul pundak si lelaki. Yerim memajukan tubuhnya dan menempatkan kelanya di bahu kanan Jihoon.

" Terimakasih, selalu berada di sampingku " Bisiknya terdengar tulus.

Sejak kedua orang tuanya meninggal, dan masuk ke dalam keluarga besar ayahnya. Yerim tak pernah sekalipun merasakan kehangatan sebuah keluarga lagi. Kakeknya tak segan memberi hukuman fisik saat ia melakukan kesalahan, para bibi yang tak lelah mengkritik dirinya, dan sepupu yang suka mencari masalah. Mungkin ada beberapa orang yang hanya acuh, dan seorang yang tulus menerimanya.

Tidak ada hari tenang untuk Yerim selama berada di rumah tersebut. Sejak melangkah masuk dan mendapati fakta bahwa dia tidak di terima, Yerim telah belajar bagaimana cara bertahan. Luka fisik yang di dapat tak pernah membuatnya menangis di hadapan mereka, dan batinnya menjerit ketika keheningan kamar melindunginya.

Dirty CashWhere stories live. Discover now