Wattpad Original
There are 5 more free parts

Bab 2 - Option

142K 7.3K 86
                                    


Dari dalam kamarnya, seorang gadis memeluk kedua lututnya sambil menangis. Air matanya jatuh setiap kali suara tangisan di luar kamarnya terdengar. Tangis kedua adiknya.

Kedua matanya sendiri sudah sembap. Hidungnya terus-menerus mengeluarkan air. Dadanya naik turun, tidak mau diajak berkompromi. Air matanya terus mengalir meski dia sudah berkali-kali menitahkannya untuk berhenti.

Dia mengangkat tangannya yang memegang sebuah bingkai foto. Di mana ayah, ibu, dia dan kedua adiknya tersenyum ceria di sana. Dia tidak menyangka hal ini bisa terjadi dalam hidupnya. Pada akhirnya, orang-orang akan pergi. Semua orang pergi. Tapi, dia tidak pernah percaya bahwa orang-orang itu adalah keluarganya sendiri.

Pertama, ibunya meninggalkannya. Memang raganya masih terbaring di salah satu bangsal rumah sakit akibat kecelakaan, tapi sudah lama kehadiran ibunya tidak pernah terasa lagi. Mereka bertiga hanya memiliki ayah, seorang supir taksi sekaligus pekerja serabutan yang gigih tidak akan pernah mencabut alat bantu hidup istrinya karena percaya suatu saat istrinya akan tesadar dari koma.

Bahkan sampai dirinya sendiri meninggal dunia, dia tidak pernah mendapat kesempatan melihat sang Istri terbangun dari tidur panjangnya. Dia belum sempat berpamitan, sibuk bekerja demi membayar peralatan mahal itu.

Kini, tinggal Luna sendiri, bersama beban besar di pundaknya. Beban atas keputusan melanjutkan perjuangan ayahnya dan terus percaya bahwa ibunya akan sadar atau melepaskannya, serta beban hidup kedua adiknya yang masih sekolah. Sementara dirinya sendiri hanya lulusan SMK.

Telepon genggamnya berdering. Sebuah nomor formal. Sudah beberapa kali pihak rumah sakit menanyakan pembayaran atas ibunya. Kematian ayahnya, tepat ketika esoknya beliau harus menyetorkan biaya rumah sakit. Tapi, itu pula yang sekarang menjadi kegelisahan bagi Luna.

Separuh uang yang dikumpulkan ayahnya, sudah dipakai untuk biaya pemakaman ayahnya sendiri. Luna kembali memejamkan matanya karena rasa sakit itu kian terasa menyengat di dalam hatinya, seolah memaksa jantungnya untuk menyerah dan berhenti berdetak.

Lalu, seakan sebuah kekuatan yang timbul dari kesakitan yang begitu besar, Luna bangkit dari kasurnya, menyambar tas dan jaketnya. Di luar kamar, suara isak tangis dari kedua adiknya masih terdengar. Masing-masing dari mereka memeluk dirinya sendiri, dengan pandangan yang menerawang.

Si bungsu yang pertama kali menyadari bahwa kakaknya sudah keluar dari kamar. Dia menilai penampilan kakaknya kemudian bertanya, "Kakak mau ke mana?"

Mendengar Irham bersuara, Artana si Tengah langsung mendongak, menunggu jawaban. Luna menatap kedua adiknya dengan perasaan campur aduk, kemudian memutuskan untuk mengajak mereka berdua. "Jenguk Ibu, yuk."

Mereka pergi menggunakan bus kota. Ketiganya sudah berhenti menangis, tapi Artana tahu bahwa ada yang tidak beres dengan kakaknya. Dia merasakan sesuatu yang buruk, tapi dia tidak bisa menanyakan hal itu sekarang.

Setelah sampai di tempat ibu mereka terbaring koma, Irham dan Artana langsung meringkuk di kedua sisi ibunya, menangis lagi. Sementara Luna sudah mendengar seorang perawat memanggilnya. Sayup-sayup, dia mendengar kedua adiknya mengadu, bahwa mereka baru saja ditinggalkan seseorang paling berharga di dalam hidup mereka.

"Pembayaran sudah lewat jatuh tempo, Mbak. Silakan segera menuju loket pembayaran," kata sang Perawat ramah ketika mereka berdua sudah berada di luar ruangan.

Perawat itu hendak pergi namun Luna menahannya. "Suster, saya boleh tahu gimana perkembangan kondisi ibu saya?"

Perawat tersebut melirik dokumen yang dibawanya, lalu mendekapnya lagi. "Sebaiknya Mbak langsung tanyakan ke dokter Ambar. Beliau masih bertugas sekarang, pukul delapan nanti kemungkinan baru selesai."

Surrogate WifeWhere stories live. Discover now