23 September

3.7K 244 473
                                    

Jihoon bersandar nyaman pada bahu kokoh Daniel, matanya menatap ke layar besar bioskop yang sedang memainkan sebuah lakon emosional dari film yang telah ia nantikan sejak dua bulan lalu, Maze Runner.

Daniel mengelus puncak kepala Jihoon, sesekali membenahi letak poninya yang bergeser saat ia bersandar.

Jihoon telah membaca seluruh seri dari buku Maze Runner hingga membuat Daniel marah karena melupakan janji mereka untuk berkencan. Ia butuh puluhan kali sambungan telefon sebelum akhirnya Daniel luluh dengan permintaan gadisnya itu.

Seharusnya Jihoon hafal bahwa pada akhirnya tokoh favoritnya akan mati karena infeksi virus secara dramatis, tapi menyaksikan wajah itu memohonkan kematian dengan rasa sakit yang menyiksa sangat membuatnya tersulut duka yang dalam. Merasakan sebuah ledakan kesedihan seolah-olah sosok itu adalah Daniel. Jihoon tak mampu menahan desakan airmatanya yang bergerak kecil di ujung matanya.

Daniel tersenyum melirik kekasihnya, menggunakan ibu jarinya untuk menyeka bulir air mata Jihoon. Ia tak ingin menghancurkan suasana hati Jihoon yang sedang menghayati lakon di layar besar.

Berkali-kali Jihoon bergumam pelan, mengungkapkan betapa skema-skema itu masih saja mengiris perasaannya. Daniel hanya tersenyum kecil dan menanggapi dengan kalimat-kalimat sederhana lalu mengelua rambut halusnya.

"Ah, kenapa surat dari Newt justru semakin membuatku sedih, astaga!" ucap Jihoon, kali ini ia benar-benar menahan sosok melodrama itu untuk tak membuatnya terlihat sangat cengeng. Daniel memeluk kepala Jihoon dan mencium puncak kepalanya.

"Aku berharap Newt tidak akan mati dalam film ini." ujar Jihoon ketika layar besar menampilkan deretan nama, harapan semu sekedar ingin menghibur kabar hatinya sendiri. Para penonton yang duduk di kursi bawah mulai bangkit dari posisi mereka bersamaan dengan lampu yang menyala.

Daniel tertawa kecil, tetep duduk di sebelah Jihoon hingga antriannya sedikit melonggar. "Menurutku justru itu poin pentingnya." balasnya. Jihoon membenarkan hal itu dalam kepalanya. Wajahnya masih sendu.

Daniel bangkit dan mengulurkan tangannya, menunggu sambutan Jihoon. Perlakuan kecil yang manis. Mereka turun perlahan di belakang barisan menuju pintu keluar.

Secara keseluruhan, ada empat teater yang dibuka pada jam malam. Keadaan di luar sudah sangat sepi ketika mereka menjejak karpet coklat berpola kotak-kotak dan disambut oleh petugas keamanan gedung berseragam hitam.

Salah satu petugas memberi arahan dimana arah jalan keluar berada. Jihoon menarik lengan Daniel hingga membuat pemuda itu berhenti.

"Ada apa, sayang?" tanya Daniel. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul dua belas malam.

Jihoon tersenyum manis sebelum berkata. "Aku harus ke kamar mandi." ucapnya.

Daniel menggandengnya sebelum Jihoon masuk ke dalam toilet. Posisinya tak begitu jauh dari pintu masuk bioskop yang telah terkunci.

Daniel mengamati kegelapan yang menyebar keseluruh sisi Mall diluar bagian bioskop, menyisakan beberapa pendar lampu kekuningan di bagian dalam. Seorang petugas keamanan berjaga di dekat toilet dengan sebuah alat komunikasi yang sedang tersambung.

Daniel hampir melangkah sebelum suara teriakan menggema dan bersahutan di kejauhan, beriak semakin panjang dan melengking. Ia panik karena kealpaan akan apa yang terjadi.

Daniel berlari ke arah toilet ketika Jihoon muncul dengan kepanikan luar biasa di wajah cantiknya. Teriakan yang lain masih saja bergema, lolongan ketakutan mencekam hinggap ditelinga mereka.

Sosok-sosok yang panik berlarian, saling bertabrakan dengan teriakan yang sama. Derap langkah bersilangan di atas hamparan karpet.

Daniel meraih lengan seorang petugas yang berteriak lewat alat komunikasinya.

MANEUVER (DANIEL, JIHOON)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang